Jumat, 21 September 2018

Makna Filosofis Dari Topeng Cirebon

Tari Topeng Cirebon
Kalau pada postingan yang dulu saya hanya menggambarkan Tari Topeng secara garis besarnya saja maka pada postingan kali ini saya akan mencoba membedah kedalaman isi dan makna filosofis dari tari topeng Cirebon ini sendiri terutama untuk tari topeng jenis topeng Panji Cirebon yang populer sangat paradoks itu. Kenapa dikatakan paradoks lantaran dalam tari topeng Panji Cirebon ini terkandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu sanggup ditemukan dari beberapa hal yang diantaranya ialah topeng yang dikenakan dalam tari Topeng Panji yang berwarna putih polos tanpa hiasan sama sekali sampai tak sanggup dibedakan apakah topeng ini menggambarkan sosok lak-laki atau sosok perempuan, gerak tari pun demikian, tak sanggup dibedakan apakah itu gerak seorang yang mewakili sifat maskulinitas lelaki atau femininitas perempuan. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya begitu gemuruh. Kalau meminjam kata-katanya Prof. Drs. Jakob Sumardjo, gerak Tarian Panji seperti "tidak menari". Justru lantaran tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Satu hal lainnya yang menciptakan tari topeng panji Cirebon sedemikian paradoks ialah lantaran meski tari ini dihadirkan sebagai pembuka dari rangkaian tari topeng Cirebon lainnya yakni Pamindo-Rumyang dan Patih-Kelana tapi tari panji mengandung unsur dari keempat tari topeng itu sendiri. Ia hadir selaku pembuka sekaligus juga perwujudan dari titik puncak pertunjukan tari topeng itu sendiri.

Selain itu, untuk menarikan tari topeng panji ini tidak sembarang orang sanggup menarikannya. Itulah sebabnya ada pendapat yang menyampaikan bahwa hakikinya pada zaman dulu tari topeng panji ini ialah jenis tarian para raja Jawa yang lebih erat ke sisi spiritualnya daripada sebagai tontonan. Pendapat ini muncul lantaran Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja Majapahit yaitu Prabu Hayam Wuruk pernah menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum wanita istana Majapahit. Kaprikornus Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton wanita (istri-istri raja, adik-adik wanita raja, ipar-ipar wanita raja, ibu mertua raja, ibunda raja). Pun begitu dengan Raden Patah yang menari Topeng di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Inilah yang mengambarkan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa sanggup menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dan lantaran sakralnya tarian ini maka sebelum menarikan tari ini seorang penari harus terlebih dahulu melaksanakan laris puasa, berpantang pada sesuatu, dan semedi. Selain itu juga dipersembahkan segala macam sesajian yang mengandung unsur-unsur dualisme sekaligus pengesaan yang antara lain mewujud dalam banyak sekali sesajian yang sering dijumpai yang diantaranya bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek kerikil yang bernafsu sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian ialah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

Rincian Sisi Filosofis Tari Topeng Cirebon
Secara garis besar makna filosofis dan spiritualitas tari topeng sendiri ialah semacam symbol penciptaan alam semesta yang berdasar pada sistem kepercayaan Hindu-Budha efek dari kerajaan Majapahit yang menganut sistem emanasi yaitu adanya kesamaan antara sang pencipta (Dewa) dengan yang diciptakan (makhluk) lantaran berdasarkan mereka ciptaan ialah kepingan atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia ialah ketidak-berbedaan yang tunggal dan mutlak. Sementara alam semesta sendiri merupakan suatu keanekaragaman.yang di dalamnya tergabung perbedaan-perbedaan yang bertentangan tapi saling melengkapi dan bertaut satu sama lain ibarat siang-malam, gelap-terang, laut-darat dan lain sebagainya. Nah, Sang Hyang Tunggal itulah yang lalu merangkum segala perbedan ciptaan itu untuk menjadikannya sebagai keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat konkret melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal insan berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal insan alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati lantaran Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak.

Dan Topeng Cirebon berusaha menggambarkan semua unsur dari Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya menjadi beberapa serpihan pasangan kembar yang saling bersisian tapi sekaligus saling melengkapi. Dari Tari Topeng Panji sebagai perwujudan Sang Hyang Wenang yang mempunyai segala unsur penciptaan lalu menyerpih dan bangun sendiri ibarat yang lalu digambarkan dalam tarian berikutnya yaitu 'Pamindo-Rumyang', dan 'Patih-Klana'. Karena mempunyai unsur segala penciptaan itulah maka Tari Topeng Panji pun sulit di bedakan apakah ia wanita atau lelaki, jahat atau baik dan sebagainya. Kedoknya yang sama sekali higienis dari segala aksesoris pun sanggup disimbolkan sebagai bentuk kekosongan. Berisi tapi kosong. Mengandung banyak sekali unsur tapi tak terdefinisikan. . Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu. Empat tarian sisanya ialah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni 'Pamindo-Rumyang', dan 'Patih-Klana'. Inilah sebabnya kedok 'Pamindo-Rumyang' berwarna cerah, sedangkan 'Patih-Klana' berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari "Pamindo-Rumyang" halus keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak "dalam" (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana menggambarkan pihak "luar". Terang sanggup berarti siang, gelap sanggup berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu ialah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian sesudah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.

__________________

Posting terkait:
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar