Kamis, 27 September 2018

Babad Cirebon Versi Naskah Klayan (Chapter Iii)

menceritakan pengalamannya membeli dongeng seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi, dan memberi petunjuk kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja wanita di negeri Diriliwungan.

Pupuh keduapuluh satu
Dangdanggendis, 25 bait.
Di negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh para penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan. Ia akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya, Durakman bersedia menikahinya.

Di malam hari, ketika akan tidur Durakman teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang bagus jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia hiraukan bahkan ia akal-akalan tidur. Ratu Diriliwungan merasa kesal dan sangat lelah sehingga kesudahannya tertidur, sementara Durakman hanya duduk termangu.Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang putih menyerang Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini menjadi pusaka raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya niscaya meninggal. Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia kepada Durakman, dan ia menentukan menceburkan diri ke bahari yang kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Kidul.

Adapun Durakman melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta yang mengetahui bahwa tamunya merupakan calon wali epilog tidak berani mendapatkan sembahnya, bahkan mengajar pun ia tidak berani. Ia hanya memberi petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan supaya menjadi perampok di hutan Japura dengan nama Lokajaya dan membunuh setiap orang yang melewati hutan Japura.

Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki Dares di Gunung Gajah hendak pergi ke Cirebon mencari guru agama Islam bahu-membahu istrinya, Nyi Mukena. Suami-istri itu berjalan melewati hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang segera menghadangnya. Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa memohon ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi menghantamnya ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun kepada Ki Dares dan meminta brguru kepadanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya kemudian dikubur hidup-hidup dengan tujuan semoga tubuh Lokajaya higienis dari segala dosa.
Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton Majapahit, Raja Brawijaya sedang mendapatkan kedatangan dua orang putranya dari Palembang : Raden Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi Adipati Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan dibutuhkan kelak akan menjadi raja.

Pupuh keduapuluh dua
Sinom, 9 bait.
Raden Patah merasa sakit hati lantaran ia tidak diangkat menjadi adipati. Ia pun pergi ke Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru kepadanya.
Dalam pada itu, sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban berjatuhan dihajar oleh Adipati Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani melawa Adipati Terung. Barangsiapa sanggup mengalahkan Majapahit, ia akan diangkat menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam untuk menyerang Majapahit. Ia kemudian diangkat menjadi Adipati Bintaro, sekaligus menjadi senopati.

Pupuh keduapuluh tiga
Kinanti, 14 bait.
Cerita kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke hutan Japura untuk menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya menyerupai mati dan beratnya seringan kapas. Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui roh Nabi ( Muhammad). Ia telah menerima kesempurnaan dan bergelar Sunan Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares menganjurkan semoga Sunan Kali mencari Sunan Jati.

Syarif Hidayat yang sudah mengetahui kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatangan tamunya dengan menyamar sebagai seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak memberikan sesuatu kepada Syarif Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruhnya menunggu di pintu gerbang istana. Setelah meninggalkan tamunya di pintu gerbang, Syarif Hidayat eksklusif berangkat ke Pajajaran.

Pupuh keduapuluh empat
Sinom, 14 bait.
Pupuh ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati. Dicertakan bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati lantaran semua putranya meninggalkan istana, bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa aib kalau hingga tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya, sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji sikir, kemudian pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, negara dan rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam.

Syarif Hidayat yang tiba kemudian menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembunyi di hutan menyerupai harimau. Seketika itu juga, orang-orang Pajajaran berkembang menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di cabut, mereka belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana diminta pulang ke Cirebon menghadiri pertemuan para wali. Lalu, ia pergi ke Mengajang menemui Syekh Bentong yang bergotong-royong yaitu putra Raja Majapahit berjulukan Banjaransari yang lebih di kenal dengan nama Jaka Tarub.

Pupuh keduapuluh lima
Kinanti, 28 bait.
Jaka Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra Majapahit, Raden Bondan, yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia bertapa memati raga. Pada suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat tiba menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan lantaran asyiknya berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar daun api-api, kemudian membaca syahadat, seketika terciptalah seekor angsa yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking marahnya, angsa itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh Bentong. Syarif Hidayat meminta semoga bebeknya dihidupkan kembali, tetapi Syekh Bentong tidak bisa melakukannya.Dengan membaca syahadat, Syarif Hidayat sanggup menghidupkan kembali bebeknya. Akhirnya, Syekh Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya dianjurkan supaya pergi ke Cirebon.

Cerita kembali kepada Durakhman yang tengah menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia menanti di pintu gerbang tanpa tidur sekejappun. Jika merasa lelah duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa lelah berdiri, ia pun duduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon terdapat sebuah kawasan yang dinamakan Lemahwungkuk.
Syarif Hidayat yang kemudian tiba menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di sembarang kawasan lantaran pelajaran akan diberikan di tepi sebuah sungai, dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri untuk menghitung ilmu. Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belum hingga setengah batang, kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air, tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemiri, tiba-tiba tiba air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke bahari dan karam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau yang cemerlang dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau Hening.

Pupuh keduapuluh enam
Balakbak, 22 bait.
Di Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang menasehatinya semoga bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal sebuah pisau. Ketika Durakhman tengah bertapa, tangannya mencoret-coret tanah menciptakan gambar-gambar yang tersusun menjadi sebuah kisah wayang. Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi wayang-wayang yang sanggup melakonkan segala macam cerita. Setelah wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang pertapa.

Ternyata, pertapa itu yaitu seorang raja zaman Budha berjulukan Konteya Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum berjulukan Samiaji. Dialah yang dulu mempunyai azimat Kalimasada. Judhistira menceritakan seluruh kisah wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia menyerahkan Surat Kalimasada yang selama dipegangnya belum pernah ia baca lantaran tidak sanggup membaca apa yang tertulis didalamnya. Durakhman kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma. Sejak ketika itu, Judhistira berjulukan Samiaji lantaran sama-sama mengkaji Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia menjadi pemeluk agama islam. Lalu, Durakhman meminta semoga Samiaji pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum bersedia, tetapi ia berjanji suatu ketika akan tiba ke Cirebon apabila Gunung Jati memancarkan sembilan cahaya.

Pupuh keduapuluh tujuh
Durma, 33 bait.
Cerita kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit lantaran Brawijaya berniat menyerahkan tahta kepadanya. Adipati Terung berusaha mencari Raden Patah hingga ke bonang, tetapi Raden Patah tidak mau pergi ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus memaksa, sementara Raden Patah tetap bertahan. Akhirnya, tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang dibutuhkan membantu Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung, pasukan Bonang tidak bisa melawan pasukan Majapahit.

Pupuh keduapuluh delapan
Pangkur, 11 bait.
Adipati Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang. Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung. Demikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung Kumbang.

Pupuh keduapuluh sembilan
Dangdanggula, 17 bait.
Raden Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan lamanya. Kemudian, ia menerima petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana. Di Losari, ia bertemu dengan seorang renta yang memberinya sebuah panah berjulukan si Hantu. Orang renta itu tidak lain yaitu Sunan Jati. Dalam peperangan yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.

Pupuh ketigapuluh
Sinom, 22 bait.
Meskipun panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia siluman, dan berkumpul di Tunjungbang.

Cerita kembali pada kisah para wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka setuju untuk menemui Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi raja di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali seluruhnya kembali ke Demak untuk merayakan penobatan dan ijab kabul Raden Patah.

Sementara itu, durakhman yang telah menuntaskan tapanya di Gunung Dieng eksklusif pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata gres saja para wali meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, gres saja ia beranjak pergi, terdengar bunyi mempersilahkan duduk yang keluar dari meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak usang kemudian, keluar teko serta cangkir mempersilahkan minum. Agak gundah juga Durakhman menyaksikan semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan malam.

Pupuh ketigapuluh satu
Asmaranda, 19 bait.
Pupuh ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung Jati gres kembali dari Mekah, ia membawa watu Mukadas dan peta kota Mekah untuk dijadikan teladan pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon. Ketika melihat Syarif Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, kemudian menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun tidak ada yang sanggup melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali.

Menurut kitab tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus; Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton; Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali epilog Suhunan Kalijaga bergelar Suhunan Adi.

Pada kesempatan itu, para wali menciptakan singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan ilmunya berupa cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar hingga ke gunung Dieng—mengingatkan pada komitmen Samiaji yang akan segera tiba ke Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak bersedia mendapatkan sembah para wali. Tak usang kemudian, ia meninggal dan dikebumikan di Jatimulya.

Pupuh ketigapuluh dua
Sinom, 18 bait.
Seorang murid syarif Hidayat berjulukan Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun berguru agama islam, namun merasa bosan lantaran berulang kali ia hanya hanya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan diri lantaran kecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon berusaha mensugesti Ki Gedeng Kemuning lantaran menurutnya untuk apa berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan, komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak, Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan banyak sekali macam ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan banyak sekali jenis tarekat, menyerupai Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak usang kemdian, ia meninggal.

Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali. Kebetulan, Ki gedeng Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu, berdasarkan Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh ilmu yang diajarkan Sunan Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati yang berasal dari Gebang berjulukan Kamil. Kedatangannya berniat memandikan mayat. Mula-mula, mayit Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan mengeluarkan kedaluwarsa busuk. Lalu, mengecil dan berganti membuatkan kedaluwarsa harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.

Pupuh ketigapuluh tiga
Kinanti, 38 bait.
Pupuh ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan. Nyi Panguragan atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang siapa yang bisa mengalahkan dirinya, jikalau ia laki-laki, dialah yang akan menjadi suaminya. Melalui sayembara itu, banyak orang yang ingin tampil untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan Gandasari. Tetapi, tak seorangpun yang sanggup mengalahkannya hingga datanglah seorang pahlawan dari negeri Syam berjulukan Pangeran Magelung.

Dinamai Pangeran Magelung lantaran rambutnya digelung lantaran semenjak kecil hingga cukup umur tidak ada pisau cukur yang mempan untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cirebon untuk menemui sunan Jati. Setibanya di Karanggetas, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek yang bisa memotong rambutnya hanya dengan jari tangan. Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga hingga di kawasan sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan ini, Ratu Emas Gandasari ternyata sanggup dikalahkan oleh Pangeran Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Sunan Jati.

Pupuh ketigapuluh empat
Dangdanggula, 14 bait.
Akhirnya, Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari. Namun, mereka berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kecuali kelak di selesai zaman. Menurut kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tidak hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di Pulau Kuntul (Bangau). Sekarang, pulau bangau itu berjulukan pulau Kencana atau pulau Karas atau di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori.

Dalam pada itu, para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus—sering berkumpul untuk membicarakan syareat Rasul, undangan fikh, serta kitab Fakulwahab.

Pupuh ketigapuluh lima
Menggalang, 17 bait.
Pupuh ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang Keraton Cirebon. Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para ponggawanya, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel, Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna membicarakan negara Cirebon di bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut mengambil keputusan, yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka diri, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban, Dalem Ciamis, Dalem Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah persiapan selesai, pasukan Galuh segera berangkat menuju Cirebon.

Pupuh ketigapuluh enam
Sinom, 8 bait.
Dalam perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di perjalanan. Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng Kemuning sangat rindu pada Sunan Jati dan berkemas-kemas hendak menghadap ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga dan Anggasura, serta para mantri.

Pupu ketigapuluh tujuh
Dangdanggula, 15 bait.
Barisan pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan pasukan Galuh. Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke Cirebon—saat para wali masih berkumpul untuk membangun masjid dan mendiskusikan agama Islam.

Pupuh ketigapuluh delapan
Asmaranda, 13 bait.
Kedatangan Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera dilangsungkan di Demak. Ketika para wali berkemas-kemas hendak berangkat ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang mengabarkan adanya pasukan Galuh yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap berangkat ke Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang segera mengatur barisannya di Gunug Gundul.

Pupuh ketigapuluh sembilan
Durma, 24 bait.
Utusan Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyidik kekuatan pasukan Galuh. Ia pergi bersama Ki Anggawaru. Tak usang kemudian, Ki Anggarunting bertemu dengan Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan Kuningan terdesak. Arya Kemuning maju membantu yang menciptakan barisan Palimanan berantakan. Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning yang berjulukan Wisnu.

Pupuh keempat puluh
Asmarandana, 10 bait.
Pasukan Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai seekor gajah terus melaksanakan serangan. Serangan Dipati Kiban ini dihadapi oleh Dalem Kuningan.

Pupuh kempatpuluh satu
Pangkur, 27 bait.
Perang tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan dipati Kiban yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan usang sekali. Meskipun sudah berlangsung lama, namun belum ada gejala siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya mereka berlaga, dorong mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-duanya tercebur ke bahari dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya lenyap, kedua belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya masing-masing.

Pupuh keempatpuluh dua
Sinom, 18 bait.
Kuwu Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk membantu pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak menyetujuinya. Ki Kuwu Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan menyerupai orang linglung. Ia pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan kesudahannya tafakur disana. Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan keadaan peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning bersama Dalem Kiban. Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur di lautan.

Kemudian pihak Cirebon menyusun bala pinjaman dan segera diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan Patih Keling. Dalam pertempuran lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda terdesak mahir oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan Galuh tak terlawan oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu, prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang melaksanakan perang tanding. Tetapi, lantaran pimpinannya terdesak, mereka pun lari mengundurkan diri.

Pupuh keempatpuluh tiga
Pangkur, 10 bait.
Pada ketika pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap bertafakur di gunung Panawarjati. Ia menyesal dikarenakan telah mendahului kehendak kemenakannya, Sunan Jati. Tiba-tiba, ia mendengar bunyi yang berasal dari sebatang pohon randu yang isinya menyatakan bahwa ia telah dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu pasukan Cirebon yang sedang terdesak.

Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan eksklusif menuju medan pertempuran. Ia mendengar bunyi di angkasa yang menantang Sunan Jati. Itulah bunyi Sanghyang Gempol, salah seorang sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat akan segala jenis pusakanya menyerupai badhong, bareng, kopiah, umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan bersembunyi, golok selalu membuntuti.


Selesai.

****
p.s.
hasil pipes dari sini
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar