Selasa, 25 September 2018

Mendefinisikan Akademi Tinggi Idaman

Sebenarnya memperbincangkan perihal menyerupai apakah Perguruan Tinggi terbaik yang paling ideal dan menjadi impian semua rakyat Indonesia dalam satu artikel hampir-hampir menyerupai mission imposible, terlebih lagi bila kita hubungkan dengan keadaan negara kita kini ini. Kita tentulah sepaham bahwa betapa banyaknya variabel yang harus disertakan dalam memperbincangkan hal ini, belum lagi perihal multidimensional persoalan-persoalan kongkret serta betapa kompleksnya pokomasalah yang harus diurai. Tapi, tentu bukan berarti hanya alasannya melihat betapa multidimensionalnya persoalan-persoalan tersebut lantas hal itu dipandang sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu untuk didiskusikan. Maka dari itulah, saya akan mencoba mengurai benang-benang itu di sini dengan harapan besar bahwa pada gilirannya akan ditemukan satu solusi kongkret perihal menyerupai apa dan bagaimanakah seharusnya sebuah perguruan tinggi tinggi.

Jadi, mafhumlah kiranya kalau sebelum melangkah lebih jauh ke inti kasus perihal bagaimana dan menyerupai apakah Perguruan Tinggi idaman mahasiswa pada umumnya, terlebih dahulu saya akan mencoba memecah segala persoalan-persoalan yang melilit badan forum pendidikan kita menjadi kepingan-kepingan kecil supaya lebih gampang terdefinisikan. Persoalan-persoalan pokok dan sangat mendasar di hampir semua Perguruan Tinggi kita, dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan berikut ditunjang dengan pengalaman saya dikala menjadi mahasiswa dulu ialah sebagai berikut :

1. Kualitas dosen pengajar
Tak sedikit dosen pengajar di banyak Perguruan Tinggi yang contoh mengajarnya terlalu bertele-tele, kaku, membosankan dan susah dipahami oleh sebagian mahasiswanya. Padahal tentulah kualitas dosen pengajar merupakan hal terpenting, alasannya sebagus dan seefektif apapun sistem yang berlaku dalam sebuah Perguruan Tinggi tak akan bisa berjalan tanpa ditunjang oleh kualitas dosen yang mumpuni. Dosen merupakan ujung tombak yang begitu sentral alasannya bagaimanapun juga kiprah dosenlah yang kemudian bisa membentuk mahasiswa selaku generasi gres untuk memperoleh suatu keterampilan dan mental berpikir analistis, eksploratif dan kreatif demi hasil-hasil sintetis yang berguna. Tapi, sayangnya tak sedikit dosen yang mengajar anak didiknya kolam melatih hewan sirkus, yakni mendidik mahasiswa menyerupai apa yang mereka mau, dan bukannya mendidik apa-apa yang menyerupai mahasiswa butuhkan. Jadi, kalau kemudian lulusan yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi dengan dosen-dosen alakadarnya itu ialah pemuda-pemuda yang sulit untuk diajak berpikir sistematis, bercitarasa eksploratif, gaya bertutur serta sistematika budi mereka sulit dibanggakan dikala bersitatap dengan masyarakat internasional yang setaraf dengan mereka tentu kita tak akan terkejut karenanya.

2. Biaya pendidikan
Hal mendasar lainnya ialah biaya untuk masuk Perguruan Tinggi tak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Mahalnya biaya inilah yang menciptakan kalangan bawah akan berpikir 5000 kali untuk masuk Perguruan Tinggi selepas mereka menamatkan pendidikan menengahnya. Apalagi selepas negara kita dihantam krisis berkepanjangan yang berdampak pada banyak aspek-aspek kehidupan rakyatnya, pendidikan tak lagi dipandang sebagai kebutuhan primer yang musti dikejar mati-matian. Maka tak heran kiranya kalau kemudian dalam perjalanannya Perguruan Tinggi pun menjadi menyerupai menara gading yang tak sanggup lagi diraih oleh kalangan bawah. Perguruan Tinggi hanya milik kaum menengah ke atas yang tak lagi berani diimpikan oleh kalangan akar rumput, meski dalam teori yang terpatri di undang-undang dasar negara menyebut bahwa pendidikan ialah hak seluruh warga negara. Teori ini menyerupai jauh panggang dari api alasannya pada kenyataannya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak itu harus juga diikuti oleh kewajiban membayar ongkos pendidikan yang begitu besar. Dengan kenyataan di atas tadi pada balasannya kalangan bawah yang ingin mengenyam pendidikan tinggi pun lebih menentukan untuk memupus impiannya dan menganggap keadaan tersebut lebih sebagai keadan terberi yang tak lagi bisa diapa-apakan.

3. Sarana transfortasi pendukung
Dalam sebuah novel karya Gus tf Sakai yang berjudul; Tambo, Sebuah Pertemuan sang tokoh utama yang dikisahkan begitu membenci ruang kuliah berhasil digambarkan oleh Gus dengan begitu mengena. Sang tokoh ini berkata; “Kenapa harus ada waktu? Kenapa harus ada malam? Ada siang? Sungguh tolol orang-orang yang mengikat diri dengan pengertian-pengertian itu. yang karenanya harus terburu-buru, rela berdesakan di bus, menyerupai barisan paku, yang dengan susah payah mencari tempat untuk merenggangkan kepala hanya supaya bisa bernapas. Alangkah absurd. Barangkali itu juga yang membuatku malas ke kampus. Kampus yang jauh nun di sebuah bukit. Terpuruk dalam bus selama hampir satu jam dan dikala sampai, kemudian melompat keluar, orang-orang merasa bagai selesai direbus. Tidak ada ruang kuliah. Hanya kafe yang cocok dengan keadaan menyerupai itu.” Gambaran sang tokoh yang malas pergi kuliah karena tak besar lengan berkuasa berdesak-desakkan di bus tiap pagi itu tentu bukan hanya ada di dongeng fiksi semata tapi lebih merupakan potret positif yang dihadapi sarana transfortasi negeri ini. Dan bagi mahasiswa-mahasiswa yang tak mempunyai kendaraan pribadi untuk pergi ke tempat ia menimba ilmu tentu mau tak mau harus menghadapi keniscayaan ini tiap harinya. Siapa yang tahan kalau selama sekian tahun harus dengan sukarela berhadapan dengan sarana transfortasi macam ini. Tapi kan untuk mahasiswa di beberapa Perguruan Tinggi disediakan bis yang khusus menganggkut mahasiswanya pulang dan pergi kuliah? Ayolah, ini sudah menjadi belakang layar umum kalau bis-bis yang sedianya untuk mengangkut mereka itu lebih banyak digunakan untuk ngompreng oleh pak sopirnya dengan dalih demi komplemen uang rokok. Jikapun ada bus-bus khusus mahasiswa yang tak ngompreng, maka ketersediaan bus yang tak berbanding dengan banyaknya mahasiswa tentu menjadi kasus tersendiri yang pada balasannya hampir tak bisa lagi dibedakan dengan angkutan-angkutan umum lainnya. Berjubel layaknya barisan paku yang disusun zig-zag.

4. Fasilitas kampus
Inilah yang dihadapi oleh banyak Perguruan Tinggi di negeri ini, terlebih yang di daerah-daerah yakni minimnya ketersediaan akomodasi dan sarana-sarana penunjang kampus yang sanggup mengakomodir keperluan mahasiswanya. Contohnya saja menyerupai kurang lengkap dan semrawutnya perpustakaan, lab-lab penunjang, sarana parkir yang luas dan gratis, kebersihan toilet, dan sebagainya. Dengan keterbatasan sarana ini mahasiswa jadi menyerupai taruna yang diterjunkan ke medan perang sungguhan. Mereka harus berjibaku sendiri untuk memenuhi keperluannya yang tak banyak disediakan oleh kampus, contohnya saja menyerupai dikala mahasiswa harus mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan oleh dosen. Sekedar untuk mencari refrensi ke perpustakaan saja hal yang pertama harus mereka temui ialah deretan rak-rak penuh buku yang penat dan menyerupai sengaja disusun secara acak tanpa aba-aba urutan, hingga kalau mereka mencari buku tertentu akan menyerupai mencari seekor semut diantara kawanan gajah. Dindingnya jangan ditanya. Dinding perpustakaan di banyak Perguruan Tinggi kebanyakan tentu saja sangat lembab dengan cat yang mengelupas di sana-sini hingga terlihat menyerupai gambar-gambar peta dari sebuah benua yang tak pernah tercatat dalam atlas. Lebih parah lagi, meja dan dingklik yang terdapat di perpustakaan disusun begitu konvensional dan lebih semata-mata fingsi ketimbang estetika, maka tak ayal yang terlihat ialah pemandangan meja dingklik lapuk berjejer menyerupai yang biasa dilihat di kafetaria sekolah-sekolah militer dan penjara. Itu gres citra umum sebuah perpustakaan kampus, belum merembet ke hal lainnya menyerupai kebersihan toilet, kantin, lab computer, dan sebagainya.

Bertransformasi Menjadi Kampus Idaman

Sebenarnya memperbincangkan perihal menyerupai apakah Perguruan Tinggi terbaik yang paling id Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman
Dari sekian kasus yang telah dikemukakan di atas, lantas bagaimanakah solusi kongkretnya sebuah Perguruan Tinggi tersebut supaya bisa disulap menjadi Perguruan Tinggi favorit Indonesia yang diidam-idamkan oleh mahasiswanya? Formula menyerupai apakah untuk mengakibatkan kampus tak lagi sekedar pabrik pembuat gelar, tapi juga bisa menjadi tanah tumbuh yang subur bagi generasi-generasi muda yang bisa berpikir analistis, eksploratif dan kreatif demi hasil-hasil sintetis yang berguna? Saya kira, kuncinya cuma satu yakni Perguruan Tinggi harus benar-benar bisa mengakomodir segala keperluan mahasiswanya. Ongkos kuliah yang terjangkau semua kalangan yang mula-mula harus direalisasikan, sesudah itu menyusul dengan sarana angkutan khusus mahasiswa yang memadai supaya dikala mahasiswa hingga ke kampus benar-benar dalam keadaan fresh dan siap mendapatkan pelajaran. Masuk ke wilayah intern kampus, ujung tombak yang begitu sentral yakni dosen pun harus berakal menyesuaikan diri dengan teknologi yang berkembang demi efektivitas transfer ilmu. Misalnya memanfaatkan jejaring sosial menyerupai facebook, twitter, dan sebagainya untuk lebih mendekatkan diri sekaligus menyediakan diri sebagai tempat bertanya mahasiswa dikala di luar kelas. Blog juga bisa dimanfaatkan oleh para dosen sebagai sarana transfer pelajaran yang efektif, alasannya di dua tempat inilah yakni jejaring sosial dan blog banyak mahasiswa yang parkir. Saya kira akan sangat terdengar menyenangkan bila di dalam kelas ada dosen yang mengatakan, “Bapak menginginkan kalian semua untuk mengerjakan kiprah ini. Untuk rujukan silahkan cari di perpustakaan atau di blog bapak. Setelah selesai kirimkan kiprah kalian itu pribadi ke email bapak.” Masuk ke sarana kampus, untuk memenuhi kiprah dari dosennya mahasiswa pun pribadi ke perpustakaan. Di perpustakaan semua mahasiswa mendapatkan dengan muda buku yang diharapkan alasannya di beberapa sudut di sediakan komputer sebagai catalog buku-buku yang tersedia di sana. Buku-bukunya beragam, lengkap dan senantiasa up to date hingga tak ada lagi dongeng untuk mahasiswa dengan jurusan di luar mainstream susah mencari rujukan ke perpustakaan. Pun begitu dengan lab komputer. Komputer harus disediakan berikut dengan wifi yang super cepat dan gratis. Bagi yang mempunyai laptop pun bisa leluasa mencari rujukan hanya dengan mengunjungi hotspot yang juga disediakan oeh kampus secara cuma-cuma.


Beralih ke sarana pendukung lainnya yang tak kalah pentingnya yaitu lahan parkir yang luas, kondusif dan juga gratis, toilet yang higienis dan terawat, dan kantin yang nyaman. Kenapa? alasannya di tiga tempat inilah tak jarang kampus-kampus kurang perhatian padahal fungsinya sangat vital. Lahan parkir yang luas dan kondusif menciptakan mahasiswa yang memparkir kendarannya di sana tak akan was-was lagi kalau-kalau kendaraannya digondol maling, dan balasannya bisa lebih fokus pada bahan kuliah. Kantin pun demikian adanya. Dengan kantin yang nyaman, sesudah berjam-jam berkutat dengan bahan kuliah tentu akan sangat menguras energi dan perlu merefresh otaknya sekaligus mengganti energi yang terkuras tadi dengan makan dan ngobrol di kantin bersama kawan-kawannya. Kantin yang nyaman pun bisa dijadikan arena untuk mendiskusikan bahan kuliah yang gres saja mereka sanggup di kelas.

Lalu apa lagi? Di samping hal-hal teknis yang saya paparkan di atas tentu ada hal lain yang tak kalah pentingnya yakni untuk mengupayakan diri dan dan menuju pada tercapainya harapan sebagai Perguruan Tinggi terbaik sekaligus perguruan tinggi tinggi favorit di Indonesia sebuah perguruan tinggi tinggi harus senantiasa membuka diri terhadap kritik-kritik membangun dari luar menyerupai apa yang dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia dengan menjaring pendapat sekaligus masukan yang salah satunya yakni dengan menyelenggarakan Lomba Blog UII menyerupai ini. Karena bagaimanapun juga dengan diselenggarakannya lomba ini paling tidak apa yang benar-benar diiinginkan oleh masyarakat pada umumnya maupun mahasiswa khususnya bisa di tuangkan lewat goresan pena yang pada gilirannya akan membuka banyaknya pendapat perihal apa dan bagaimana sekaligus menyerupai apakah Perguruan Tinggi idaman yang benar-benar diimpikan oleh masyarakat. Bukankah yang benar-benar tahu dengan apa yang diinginkan oleh mahasiswa ialah mahasiswa itu sendiri dan bukannya presiden, dosen, pak RT dan sebagainya.

.

.

.

Artikel ini disertakan dalam Lomba Blog UII yang diselengarakan oleh Universitas Islam Indonesia dengan tema: Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman.

Keterangan gambar:
Gambar di ambil dari blognya mbak Tuti Nonka di sini
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar