Selasa, 02 Oktober 2018

Keraton Kasepuhan Cirebon

Oleh PRA. ARIEF NATADININGRAT S.E, M.M

KERATON Kasepuhan mempunyai akar sejarah panjang sebagai sentra pemerintahan sekaligus sebagai sentra penyebaran Islam di Jawa Barat. Pertama kali didirikan oleh Pangeran Cakrabuwana dengan nama Keraton Pakungwati, kemudian diperluas dan diperbaharui oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1483 M. Kini, Keraton Kasepuhan tetap lestari dengan benda-benda cagar budaya yang terkandung di dalamnya sebagai peninggalan sejarah masa lalu, patut menerima tempat terhormat sebagai nara sumber budaya Jawa Barat yang terlengkap, terbesar dan terlestari hingga ketika ini. Keraton Kasepuhan sangat potensial sebagai objek wisata, baik sebagai wisata sejarah maupun wisata budaya, sebagai situs sejarah dan situs budaya dengan nilai estetika religius yang tinggi. Juga sanggup befungsi sebagai nara sumber penelitian sejarah dan situs-situs sejarah periode-periode awal perkembangan Islam di Jawa Barat. Sebagai salah satu situs sejarah terpenting di Jawa Barat yang masih lestari, bahkan sanggup dikatakan sebagai salah satu nara sumber sejarah, dan budaya Jawa Barat. Lokasi kraton Kasepuhan terletak di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Untuk hingga ke sana, dari Jalan Lemah Wungkuk kita sanggup berjalan ke arah Selatan, kemudian berjalan lurus, sejenak kita akan berpapasan dengan Alun-alun Keraton Kasepuhan. Dari Alun-alun Keraton kita sanggup memandang salah satu situs sejarah paling populer di Jawa Barat yakni kompleks Keraton Kasepuhan yang terletak persis di sebelah Selatan Alun-alun.

Keraton Pakungwati
Catatan sejarah menyebutkan, Keraton Kasepuhan yakni kelanjutan atau perkembangan Keraton Pakungwati Cirebon. Keraton Pakungwati sudah digunakan oleh Raja-raja Cirebon semenjak masa-masa awal perkembangan Islam, yang dimulai oleh Pangeran Cakrabuana. Pada masa Pangeran Cakrabuana, Keraton Pakungwati masih belum luas, kini tempat tersebut disebut sebagai Dalem Agung yang terletak di bab Timur Laut Kompleks Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan yang sekarang, yakni ekspansi dari Keraton Pakungwati, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Nama Pakungwati tetap dipertahankan hingga masa pemerintahan Panembahan Ratu I, dan Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya). Setelah itu, kerajaan dibagi dua menjadi Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Keraton Kasepuhan mengambil tempat di kompleks bekas Keraton Pakungwati, dan semenjak itu berkembang terus hingga ke selatan. Luas Kasepuhan dengan mengambil batas tembok Keraton (kutakosod) ialah 400 meter dikali 400 meter atau sama dengan 16 hektar. Daerah yang dibatasi oleh tembok Keraton tidak termasuk Alun-alun dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Kalau kita ingin mengenal lebih jauh bagian-bagian dalam dari Keraton mulai dari depan akan terdapat sebuah bangunan yang disebut: Pancaniti, sebuah bangunan berbentuk joglo bertiang empat dan terbuka (tanpa dinding). Pada masa lalu, bangunan ini digunakan sebagai tempat jaga para prajurit (pos jaga) sehingga setiap orang yang hendak memasukinya terlebih dahulu akan berhadapan dengan prajurit yang berjaga di Pancaniti. Pancaniti merupakan bangunan kembar, berjumlah 2 buah, terletak di depan pintu masuk. Sebelum memasuki pintu gerbang Keraton, dari arah Pancaniti akan terdapat sebuah parit. Pada masa kemudian di sekitar parit terdapat sebuah jembatan gantung yang berfungsi sebagai keamanan alamiah lingkungan keraton. Jembatan ini disebut Pangrawit.

Siti Inggil
Setelah memasuki pintu gerbang, dengan melintasi Pangrawit akan dijumpai sebuah bangunan yang terletak di atas tanah yang lebih tinggi dibanding sekitarnya, yang disebut Siti Inggil (lemah duwur), disebut demikian lantaran memang bangunan yang ada pada Siti Inggil; dibentuk di atas tanah yang lebih tinggi dari tempat lainnya. (siti= tanah, inggil= tinggi). Komplek Siti Inggil terdiri dari beberapa bangunan yaitu: Semar Kinandu, atap bangunan berbentuk segi empat dengan bab atas berbentuk limas, ditopang oleh empat buah tihang, merupakan bangunan terbuka. Semar Kinandu dibentuk sebagai tempat penghulu Keraton, bila ada audiensi di Siti Inggil. Bangunan lainnya yang berada dalam kompleks Siti Inggil yaitu Malang Semirang, sebuah bangunan berbentuk segi empat dengan ditopang oleh 4 buah tihang. Pondasi bangunan dibentuk lebih tinggi, dengan sisi bangunan dihiasi dengan contoh hias bermotif geometris. Bagian atap terbuat dari sirap dengan puncak berbentuk limas. Malang Semirang dibangun sebagai tempat duduk sultan, ketika diselenggarkan upacara keagamaan atau upacara pantung. Gamelan Sekati, bangunannya berdenah segi empat dengan tiang empat buah terletak di sudut-sudut bangunan, atapnya terbuat dari sirap, dibangun sebagai tempat gamelan pada upacara-upacara penting. Tempat duduk Sultan atau Raja pada upacara-upacara khusus disebut Siti Inggil (Tempat duduk Sultan). Sebelum memasuki Siti Inggil terdapat dua pintu gerbang berbentuk Candi Bentar yang terletak di sisi Utara dan sisi Selatan. Pada tangga masuk candi bentar terdapat Candrasangkala, dari sini kita sanggup melihat Keraton Pakungwati dengan segenap keagungannya, sementara sebuah lukisan yang terpampang menggambarkan Candrasangkala yang berbunyi Benteng Tinata Bata Kuta yang berarti kuta (satu), bata (tiga), tinata (empat tujuh) = 1347 caka (1425 Masehi). Tepat di depan bangunan Siti Inggil terdapat sebuah bangunan yang disebut Paseban Pangada, untuk tempat jaga para prajurit. Didepan Paseban Pengada terdapat tembok kedua untuk memasuki kraton yang disebut Pintu Gledek, yang berbentuk paduraksa. Berjumlah dua buah, yang satu menggunakan dua pintu dan sebuah lagi terbuka tanpa daun pintu, tetapi pada masa kemudian terdapat pintu dari kayu yang kalau dibuka harus digeser hingga pintu gledeg.

Dalem Agung
Di sebelah Timur Laut kompleks Keraton terdapat satu kelompok bangunan yang disebut Dalem Agung Pakungwati. Tampaknya bangunan inilah yang dulu didirikan oleh Pangeran Cakrabuwana, sehingga sanggup dikatakan merupakan bangunan tertua dari kompleks Keraton Kasepuhan, di mana kerajaan Pakungwati merupakan kerajaan Cirebon yang pertama. Di dalam kompleks Dalem Agung terdapat beberapa bekas bangunan yang kini hanya sanggup dilihat fondasinya saja, juga terdapat sebuah bangunan yang disebut Karang Pawitan, semacam padepokan sebagai tempat tinggal pendeta atau guru mengaji yang mengajar para santrinya. Dahulu tempat inilah yang digunakan oleh Raden Walangsungsang yang kemudian menjadi Raja Cirebon, bergelar Cakrabuana Srimangana membuatkan anutan agama Islam kepada murid-muridnya. Karang Pawitan dilengkapi dengan dua buah sumur yang disebut Sumur Upas dan Sumur Jaya yang dipergunakan sebagai tempat mandi dan mengambil air wudlu sebelum malaksanakan ibadah shalat.

Lain-lain
Di sebelah Dalem Agung terdapat sebuah bangunan yang bentuknya hampir seolah-olah dengan bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks Gua Sunyaragi, yang disebut Rara Denok, yang berfungsi sebagai taman sari untuk tempat bermain para putri. Pintu Gledeg yakni pintu untuk masuk ke dalam Keraton, tetapi masih terdapat satu pintu lagi yang disebut Pintu Jam. Setelah memasuki Pintu Gledek, akan didapati sebuah bangunan yang disebut, Gedong Singa terletak di sebelah Timur pintu tengah, dipergunakan untuk menyimpan Kereta Singa, dengan ukiran kayu yang sangat indah di bab kepala dan sayap. Kereta Singa dipergunakan oleh sultan ketika menghadiri upacara-upacara kerajaan, yang ditarik oleh kerbau berwarna putih, yang disebut Kebo Bule. Persis di sebelah Gedong Singa terdapat bangunan yang disebut Srimanganti yakni bangunan untuk tempat jaga para perwira kerajaan. Sedangkan di sebelah Barat pintu terdapat sebuah bangunan lagi yang disebut Lunjuk., fungsinya hampir sama dengan Srimanganti. Sesudah memasuki pintu Gledek kita akan berhadapan dengan lapangan rumput yang ditengah-tengahnya terdapat Arca Singa Kembar yang saling berhadapan di atas gegunungan. Rupanya kedua Arca Singa itulah yang menjadi lambang Keraton Kesepuhan. Ruangan-ruangan utama yang terletak di bab dalam Keraton, terdapat sebuah ruangan terbuka yang disebut Jinem Pangrawit, berfungsi sebagai ruang tamu yang secara tradisi dipergunakan untuk mendapatkan tamu keraton. Dibagian serambi Jinem Pangrawit terdapat Blandongan Jinem yang dipergunakan untuk upacara Panjang Jimat. Ruangan terbuka yang terluas disebut Pringgodani, sebagai tempat upacara penerimaan tamu-tamu keraton. Disebelah selatan pringgodani terdapat sebuah ruangan bertangga, yang dipergunakan untuk menyimpan mayit para sultan Kasepuhan, sebelum dikebumikan. Di sebelah kiri (timur) ruangan Pringgodani, masih termasuk bangunan induk keraton, terdapat ruangan yang disebut Dalem Arum, yang berfungsi sebagai tempat tinggal sultan. Tepat di sebelah kiri Dalem Arum terdapat sebuah bangunan yang disebut Jinem Arum dan Kaputren, sedangkan di sebelah kanannya terdapat langgar kecil sebagai tempat beribadah keluarga sultan. Bagian paling belakang yang masih terletak di dalam tembok keraton terdapat halaman belakang yang sangat luas, dilengkapi dengan sebuah kolam (Balong Klangenan) dan beberapa bukit buatan, yang diberi nama Gunung Indrakila, Gunung Srandil, Gunung Semar dan Gunung Jati.***

Pakungwati
Keraton kasepuhan berjulukan Kuil Pakungwati, dan nama Pakungwati ini pun berasal dari nama Ratu Mas Dewi Pakungwati, anak Pangeran Cakrabuana yakni saudara pria dari ayah Sunan Gunung Jati yang kemudian dikawinkan pada tahun 1479. Putri tersebut berparas bagus , berhati mulia dan berbudi luhur serta selalu mendapingi suaminya dalam mengembangkan agama Islam dan membina negara. Sayang, putri ini wafat ketika turut memadamkan api dalam kebakaran Mesjid Agung Ciptarasa. Maka dari itu nama Pangkuwati harus dimuliakan oleh nasab Gunung Jati. Waktu sultan Anam Badridin I mendirikan keraton Kasunanan pada tahun 1679 M, maka keraton Pangkuwati disebut Kasepuhan dan nama itu tetap digunakan hingga sekarang.

Pangeran Walangsungsang
Kota Cirebon yakni kota pelabuhan yang sangat populer sebagai kota udang, lantaran udang banyak dihasilkan dari lautnya selain terasi rebon. Kota ini unik lantaran merupakan titik percampuran budaya antara Sunda dan Jawa yang ditampilkan dalam bahasa, seni dan tradisinya selain efek Islamnya yang sangat kuat. Pangeran Walangsungsang/P. Cakrabuana/Haji Abdullah Iman merupakan peletak pondasi pendirian kampung Cirebon di kawasan pesisir. Penyebutan Cirebon Pesisir atau Cirebon Larang kemudian untuk membedakannya dengan Cirebon Girang yang telah didirikan di lereng Gunung Ceremai semenjak lama. Sri Baduga Maharaja dari Pajajaran menganugerahkan gelar Sri Mangana atas prestasi puteranya itu. Rara Santang, juga putri Sri Baduga yang telah beragama Islam, kembali dari Mekkah membawa serta putranya yang berjulukan Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah inilah yang mengukuhkan Cirebon menjadi kekuatan agama Islam yang merdeka dari kerajaan kakeknya di Pakuan Pajajaran dan menjadi raja Cirebon bergelar Susuhunan Jati. Susuhunan Jati merupakan ayah dari Syeh Hasanuddin yang membentuk Kesultanan Banten ini, wafat pada tahun 1568 M dan dikuburkan di Gunung Jati (Cirebon) sehingga dikenal pula sebagai Sunan Gunung Jati.

Gunung Cakrabuana
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah semenjak dulu gunung ini suka digunakan tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk agama. Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat lantaran di sana orang mendalami agama karuhun. Di wilayah Teja (Lemahputih) ada bekas tempat persemayaman tokoh amat populer dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang, bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan berjulukan Batucakra. Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana usang mempelajari ilmu agama (Islam). Dan lantaran pernah tersesat di sana, maka dia menciptakan peta dengan goresan-goresan besar lengan berkuasa di atas batu. Orang menyampaikan kalau Sang Walangsungsang ketika itu menciptakan goresan-goresan mirip cakra. Maka semenjak ketika itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini. Kangjeng Cakrabuana yakni pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.

Sang Susuhunan Jati
Perayaan secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sehabis Kangjeng Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (1479 Masehi). Susuhunan Jati mengadakan aneka macam perayaan secara besar-besaran ini, bukan semata lantaran menghormati Kangjeng Nabi sebagai penyebar agama saja, melainkan juga lantaran menghormati nenek-moyang. Menurut garis ayah, Kangjeng Syarief Hidayatullah yakni keturunan ke 22 Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Ayahandanya yakni Syarief Abdullah yang tiba ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat. Menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Sebagai keturunan pribadi dari penyebar agama Islam, sudah barang tentu Kangjeng Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus pula, hormat seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Makanya semenjak ketika itulah muludan di Nagri Carbon selalu meriah hingga kini.

Nyimas Subanglarang
"Saya dengar Pajajaran tidak membenci Carbon lantaran dahulu pendiri Carbon yakni putra-putri Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1482-1521 Masehi). Permesuri Sang Prabu yakni Nyimas Subanglarang, dari Pesantren Quro wilayah Tanjungpura (Karawang kini) dan ketiga putranya yaitu Walangsungsang, Larasantang serta Raja Sangara ikut agama ibunya yaitu Islam," potong Purbajaya.
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar