Sabtu, 11 November 2017

SEJARAH ASAL USUL MOTIF BATIK MEGA MENDUNG

SEJARAH ASAL USUL MOTIF BATIK MEGA MENDUNG , Tulisan terbaru yang akan dipulikasikan oleh kami akan berafiliasi atau berkaitan dengan Batik Megamendung yang dimana belum banyak mengetahui bagiamana asal muasal sejarah motif batik mega mendung ini muncul dan terkenal hingga sekarang ini .




Perlu diketahui bersama bahwa sebagai suatu karya seni, batik megamendung identik dan bahkan menjadi sebuah ikon batik pesisiran Cirebon. Batik ini memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di daerah-daerah pesisir lainnya penghasil batik di utara Jawa mirip Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.

Kekhasan megamendung atau “awan-awanan” tidak saja pada motifnya yang berupa gambar ibarat awan dengan warna-warna yang tegas mirip biru dan merah, tetapi juga pada nilai-nilai filosofi yang terkandung pada motifnya itu sendiri. H al ini sangat erat berkaitan dengan sejarah lahirnya batik secara keseluruhan di Cirebon.

Belum jelas, kapan batik menjadi tradisi di tempat pesisir pantura. Dari beberapa penuturan, sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Prosesnya berlangsung semenjak Sunan Gunung Djati membuatkan Islam di Cirebon sekitar masa ke-16.

Budayawan dan pemerhati batik sekaligus sebagai Sekretaris pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Penuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon Bapak H. Casta S.Pd. M. Pd mengungkapkan mengenai sejarah batik dimulai dikala Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi gres bagi masyarakat Cirebon.

Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Djati merupakan ’pintu gerbang’ masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi sentra kosmik sehingga ide atau gagasan, pernik-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri Ong Tien menjadi sentra perhatian para seniman Cirebon. “Pernik-pernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Djati, menjadi wangsit seniman termasuk pebatik,” tutur perupa Made Casta. Keramik Cina, porselen, atau kain sutra dari zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif, menginspirasi seniman Cirebon. Gambar simbol kebudayaan Cina, mirip burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin, banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi bersahabat dengan masyarakat Cirebon. Para pebatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya motif megamendung.

“Tentu dengan sentuhan khas Cirebon, sehingga tidak sama persis. Pada megamendung, garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan megamandung Cirebon cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina dan Cirebon,” ungkap H. Casta S.Pd. M. Pd

Sedangkan H. Komarudin Kudiya, S.I.P., M.Ds., Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) mengemukakan, persentuhan budaya Cina dengan seniman batik Cirebon melahirkan motif batik gres khas Cirebon.

Motif Cina hanya sebagai inspirasi. Seniman batik cirebon kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam. Dari situ, lahirlah motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, mirip Paksi Naga Liman, Wadasan, Banji, Patran Keris, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, dan yang paling dikenal ialah megamendung.

“Meski megamendung tergoda Cina, dalam penuangannya secara fundamental berbeda. Megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya simbol perjalanan hidup insan dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga hingga mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan kebesaran Illahi,” tutur pemilik showroom “Batik Komar” di Jln. Sumbawa, Kota Bandung itu.

Sejarah Motif Batik Cirebon dan Penjelasannya

Sejarah batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh alasannya yakni itu, kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dan nuansa Islam mewarnai. Disitulah terletak kekhasannya.

Pengaruh tarekat terlihat pada Paksi Naga Lima. Motif itu merupakan simbol berisi pesan keagamaan yang diyakini tarekat itu. Paksi menggambarkan rajawali, naga yakni ular naga, dan liman itu gajah. Motif tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan keburukan dalam mencapai kesempurnaan.

“Motif itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina, dan India. Para pengikut tarekat menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya seni termasuk pada motif-motif batik,” tutur Made Casta.

Pada megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan. Komarudin mengemukakan, bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di balik motif itu.

Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton sebagai sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya mirip Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan Panembahan, di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.

Oleh alasannya yakni itu, hingga sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. “Eyang dari eyang saya sudah mengenal batik. Sampai sekarang turun-temurun. Awalnya memang Trusmi, sekarang dengan perkembangan yang pesat, masyarakat desa lain juga mengikuti tradisi Trusmi,” tutur alumnus ITB yang juga pengurus Yayasan Batik Indonesia (YBI).

Keberadaan tarekat mengakibatkan batik cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang aktif di tarekat yakni laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik. Ini berbeda dengan tempat lain, membatik melulu pekerjaan wanita.

Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis, alasannya yakni ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di Trusmi pekerjaan membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.

Oleh alasannya yakni itu, warna-warna biru dan merah bau tanah yang digunakan pada motif megamendung, membuktikan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar