Keraton Kacirebonan

Cirebon bukan sekadar nama tanpa sejarah. Konon, Cirebon berasal dari Caruban atau daerah pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang meyakini nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Bentuk caruban ini oleh Tome Pires dicatat sebagai Choroboarn. Ada kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau ajaran sungai), kota ini pun usang kelamaan disebut Cirebon atau kalau mau diartikan sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil). Ini sanggup dilihat dari buah tangan khas kota ini yang kebanyakan berasal dari olahan udang.

Kala itu Pemerintah Hindia Belanda pusing. Niat mereka untuk berkuasa sepenuhnya di tanah Cirebon selalu saja mentok alasannya saingan dari Pangeran Raja Kanoman, putra Sultan Anom IV yang bertahta di Keraton Kanoman pada tahun 1803.

Di ketika yang sama di negeri Belanda nun jauh di seberang lautan, kekuasaan sedang beralih. Negeri Belanda diduduki Prancis dengan panglima perangnya, Napoleon. Maksud hati ingin berkuasa mutlak di kota pelabuhan penting berjulukan Cirebon, pemerintah Hindia Belanda malah kehilangan basis kekuasaannya sendiri.

Namun, rencana tetap dilakukan. Toh, Deandels sebagai penguasa gres utusan Prancis tidak mengganti seluruh pejabat Belanda di negeri ini.Setelah sang Sultan Anom IV, penguasa Keraton Kanoman wafat, Belanda mulai melancarkan siasat anyir yang selalu saja mengena diterapkan di tanah jajahan termasuk di Jawa ini, devide et impera. Seharusnya tahta segera diisi oleh sang putra mahkota, Pangeran Raja Kanoman. Namun, sebagai penguasa bekerjsama tentu saja Belanda tak ingin Pangeran Raja Kanoman yang naik tahta. Belanda malah melantik putra Sultan Anom IV yang lain, Abu Sholeh Imaduddin, sebagai Sultan Anom V.

Kerajaan pun geger dan rakyat terpecah. Rakyat terang lebih mendukung Pangeran Raja Kanoman sebagai sultan mereka yang sah. Pangeran pun daripada terkukung di dalam keraton lebih baik keluar dari lingkungan Keraton Kanoman dan bergabung dengan para pemberontak. Keadaan malah makin memanas. Tak ada jalan lain Pangeran Raja Kanoman harus ditangkap. Belanda pun menangkapnya dan membawa sang pangeran ke Batavia. Batavia bersahabat dengan Banten, Banten ialah sekutu sedarah dengan Cirebon. Tentu saja, perlawanan membebaskan Pengeran ini terjadi di Batavia. Keadaan makin ricuh, rakyat sudah kehilangan simpati pada Sultan 'boneka' buatan Belanda alias Sultan Anom V. Dibuanglah Pangeran ke Ambon. Harapannya, jikalau pangeran nan flamboyan ini dibuang jauh dari tanah Jawa, maka rakyat akan merasa kehilangan sasaran untuk diperjuangkan dan daya juang pun menurun. Lagi-lagi Belanda salah. Perang malah makin tak terkendali. Pemerintah Hindia Belanda makin kewalahan menghadapi perlawanan para pemberontak. Deandels tentu kesal dengan kebijakan para anak buahnya ini. Kebijakan dikeluarkan. Pangeran Raja Kanoman harus dibawa kembali ke sini, Cirebon. Gubernur Laut Timur Jawa Engelhard pun pada tanggal 1 Januari 1808 diperintahkan untuk menjemput Pangeran Raja Kanoman di Ambon.

Sementara di Cirebon sendiri, keraton gres disiapkan pemerintah Hindia Belanda sebagai daerah Pangeran Anom bertahta. Pada 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi Sultan Carbon Kacirebonan. Rakyat pun mengelu-elukan Sultan gres ini. Cirebon pun jadinya resmi mempunyai tiga keraton, Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Jangan dikira pengangkatan ini sesuatu yang ikhlas. Segala hukum dibentuk Deandels khusus untuk Kasultanan Kacirebonan. Reglement dikeluarkan untuk mengatur hak dan kekuasaan kesultanan gres ini sehingga kesultanan gres itu hanyalah hiasan belaka.

Intinya kekuasaan politik sang Sultan, termasuk Sultan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dihapus. Mereka hanyalah pegawai pemerintah biasa dan diberi gaji. Namun, hawa perlawanan tak juga surut. Sultan Carbon tetap berjuang walau hanya dengan mengawasi usaha yang dilakukan rakyat. Wujud pemberontakan Sultan Carbon ialah ia tidak mau mendapatkan honor dari pemerintah Hindia Belanda hingga final hayatnya. Pemerintah penjajah tak mau kehilangan muka.

Status Sultan Carbon Kacirebonan tak ada lagi untuk penerus tahta. Statusnya diturunkan menjadi Raja Madenda. Gelar ini kalah gengsi dengan dua kesultanan yang lain, Kasepuhan dan Kanoman. Gengsi yang hilang ini pun berbekas hingga ketika ini. Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton berjulukan Kacirebonan.

Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan berjulukan Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.

Ciri ketiga keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid. Setiap keraton selalu menyediakan alun-alun sebagai daerah rakyat berkumpul dan pasar. Di taman setiap keraton selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon. Satu lagi yang menjadi ciri utama ialah piring-piring porselen orisinil Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.

Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bab dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak terang fungsinya. Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak terang nasibnya.

Bagian-bagian ruangan keraton pun sudah diambil-alih oleh sanak famili dari Abdul Gani Natadiningrat, Sultan yang terakhir. Kursi-kursi renta yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih ialah bangku pelaminan yang biasa digunakan para sultan. Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat alasannya tak terawat dan tertutup semak-semak.
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/