Rabu, 12 September 2018

Abdul Halim, Satria Pergerakan Dari Majalengka

“Sejarah” kata yang tak abnormal lagi di indera pendengaran kita. Setiap individu niscaya pernah mengalami insiden sejarah dalam hidupnya. Sedangkan definisi sejarah itu sendiri sanggup diambil dari aneka macam bahasa. Pertama, kata sejarah diambil dari bahasa Arab, yaitu “syajaratun” yang berarti pohon. Menurut bahas Arab “sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks” (I Wayan Badrika, 2004, 2). Kedua, sejarah diambil dari bahasa Inggris yaitu “history” yang berarti masa lampau umat manusia. Sedangkan yang ketiga diambil dari bahasa Jerman yaitu geschicht yang berarti sesuatu yang pernah terjadi.

Dari uraian di atas, sanggup ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejarah yakni “ilmu pengetahuan yang mempelajari segala insiden atau insiden yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia.” (I Wayan Badrika, 2004, 3).

Pengetahuan sejarah mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena “bangsa yang besar yakni bangsa yang sanggup memahami sejarah bangsanya sendiri.” (I Wayan Badrika, 2004). Bahkan seorang presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, pernah mengungkapkan sebuah pesan kepada generasi muda sebagai penerus bangsanya, yaitu “JAS MERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Oleh lantaran itu tidak ada suatu bangsa yang tidak mengenal sejarahnya sendiri, walaupun tidak semuanya pengetahuan sejarah sanggup dikuasai sesuai dengan teori.

Belajar sejarah juga sama pentingnya bagi diri individunya sendiri. Seorang guru sejarah pernah berkata, “Dengan sejarah kita bisa melihat masa depan.” Tentu muncul banyak pertanyaan di benak kita, bagaimana kita bisa melihat masa depan, bila kita terus menengok ke belakang. Sebenarnya rangkaian kata itu mempunyai makna yang sangat dalam, dengan kita menengok kembali kepada sejarah, kita sanggup menjadikannya sebagai patokan atau pedoman hidup di masa yang akan datang. Dengan kata lain, sejarah yakni kilas balik kehidupan kita, semoga kita lebih hati-hati dalam mengambil langkah supaya tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.

Sementara itu, tujuan diajarkannya sejarah di aneka macam instansi pendidikan salah satunya yakni untuk menumbuhkan benih-benih nasionalisme pada diri setiap individu semoga tercipta kesadaran dan semangat persatuan yang tertanam kuat di benak para bibit bangsa di kemudian hari. Namun bagaimana kita sanggup menumbuhkan semangat nasionalisme, bila untuk mempelajari sejarahnya saja para siswa bermalas-malasan dan kurang menyimak pelajaran itu dengan seksama. Dalam benak mereka, sejarah yakni pelajaran yang membosankan lantaran hanya mengulas insiden yang sudah lalu. Oleh lantaran itu berakal balig cukup akal ini banyak timbul bibit-bibit bangsa yang buta sejarah, sedangkan semangat nasionalisme gres akan muncul pada diri seseorang, bila seseorang itu mencicipi adanya persamaan nasib dengan individu lain sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan diantara mereka.

Otto Bover mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang muncul disebabkan oleh adanya persamaan perilaku dan tingkah laris dalam memper-juangkan nasib yang sama. Dari definisi tersebut, terang bahwa perilaku nasionalisme sangat erat hubungannya dengan sejarah, lantaran bagaimana seseorang sanggup menumbuhkan rasa nasionalisme bila seseorang itu tidak terlebih dahulu mengetahui sejarah nasibnya hingga muncul semangat dalam benak mereka untuk mengubah nasib itu semoga lebih baik bersama dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya.

Kembali pada keadaan generasi kini yang seolah meremehkan sejarah, sulit menumbuhkan rasa nasionalisme diantara mereka. Karena jangan-kan mengenal bangsa secara keseluruhan, bila pengetahuan untuk sejarah lokalnya sendiri sangat minim bahkan nol besar. Padahal sejarah lokal yakni tombak munculnya sejarah nasional suatu bangsa. Sangat disayangkan, di negeri kita tercinta ini sejarah lokal tidak banyak dieksplor ke permukaan dan tidak dikorek mendalam hingga ke akar-akarnya hingga terkuak dan tak lagi menjadi misteri. Jika kita bandingkan tugas sejarah lokal di Amerika, Amerika menimbulkan sejarah lokal sebagai dasar membangun bangsa (bottom up) sedangkan di Indonesia sejarah nasional lebih diuraikan atau diperjelas oleh sejarah lokal (top of down).

Sejarah lokal memang banyak menunjukkan bantuan terhadap kemajuan suatu bangsa. Peranannya pun tak bisa terbantahkan lagi, dengan sejarah lokal, sejarah sentra atau nasional lebih diperjelas dari segi data-data dan sumber-sumber, lebih terperinci, dan memperkaya nilai sesuatu yang belum ada atau dipaparkan dalam sejarah nasional. Dan dari sejarah lokal, juga muncul para satria tempat yang mendobrak kebengisan para penjajah yang telah merampas hak bangsanya. Dari dulu negara kita memang menganut doktrin kemajuan suatu bangsa ada di benak pemuda. Bangsa Indonesia patutlah bersyukur lantaran negeri kita ini mempunyai tokoh-tokoh perjaka yang berangkat dari tempat tapi bermental baja. Namun, perilaku semangatnya yang berkobar bukan tanpa sebab, melainkan latar belakang sejarah lokal mereka yang begitu pahit dan hidup di bawah perintah jari telunjuk bangsa lain mendorong mereka pada satu cita-cita, kembali mengecap kejayaan yang pernah mereka raih yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Satu persatu diantara mereka tumbang di tangan penjajah, namun tak menciutkan nyali mereka. Dengan senjata tradisional berupa bambu runcing, mereka tetap gigih memperjuangkan tanah air mereka, yang kini ada dalam benak mereka yakni mengembalikan tanah air ke pangkuan ibu pertiwi.

Kini pahlawan-pahlawan itu telah gugur, yang tersisa hanya sebuah nama yang tertulis di watu nisan mereka. Sebagai seorang satria bangsa, mereka patut mendapat penghargaan, gelar satria nasional mereka dapat. Namun siapa yang tahu sejarah mereka secara keseluruhan. Dari mana dia berasal, bagaimana kehidupannya.



Bagaimana nasib keluarganya sebelum dan sehabis ditinggal olehnya dan apa saja kegiatan yang mereka lakukan sebelum membela tanah air, tidak banyak dikupas secara tuntas. Darimana kita bisa mengenal sejarah mereka secara keseluruhan, tentu saja dari sejarah lokal. Sebagai contoh, satria yang berasal dari salah satu kabupaten di Jawa Barat yaitu Majalengka, berjulukan KH. Abdul Halim. Sepak terjangnya dalam memperjuangkan bangsa Indonesia tak kalah dengan Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Syahrir atau Natsir, walau namanya tak sepopuler mereka.
KH. Abdul Halim, seorang satria nasionalis bangsa yang berasal dari Jawa Barat, yang mempunyai andil besar dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keikut sertaannya dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) serta jasanya sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia, KH. Abdul Halim memperoleh tanda kehormatan sebagai BINTANG MAHAPUTRA UTAMA dari Presiden Republik Indonesia.

Abdul Halim lahir tanggal 26 Juni 1887 di desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Beliau yakni putra bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya, KH. Muhammad Iskandar, seorang penghulu Kawedanan Jatiwangi, dan ibunya, Nyi Hj. Siti Mutmainah yang masih keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Beliau menikah dengan putri KH. Muhammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag kabupaten sekarang) berjulukan Siti Murbiah.

Latar belakang keluarganya yang sangat taat beragama, menimbulkan laki-laki berjulukan orisinil Otong Syatori ini tumbuh menjadi sosok yang cerdas, kritis dan berpendidikan terutama yang menyangkut wacana agama Islam. Sejak dini tepatnya dikala dia berumur sepuluh tahun, dia sudah berguru membaca Al-Qur’an. Belum cukup dengan ilmu yang diberikan oleh pihak keluarga, dia kemudian mengembara mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain di aneka macam pelosok Jawa Barat dan Jawa Tengah, hingga usianya menginjak 22 tahun. Guru-guru yang pernah menjadi pengajarnya antara lain KH. Anwan, di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, KH. Abdullah (Pesantren Lontang Jaya, Majalengka), KH. Sajak (Pesantren Bobos, Cirebon), KH. Ahmad Sobari (Pesantren Ciwedeas, Cilimus, Kuningan), dan KH. Agus (Pesantren Kedung Wangi, Pekalongan). Beliau mengenyam pendidikan di pesantren masing-masing hingga tiga tahun.

Di sela-sela kesibukannya mencari ilmu, Abdul Halim mencoba hidup sanggup berdiri diatas kaki sendiri dengan berdagang batik, minyak wangi, dan buku-buku agama. Pengalaman dagangnya itu kelak mensugesti langkah-langkahnya dalam memperbaiki stabilitas ekonomi masyarakat pribumi.

Setelah kenyang menimba ilmu agama dari banyak kiai lokal, Abdul Halim tetapkan naik haji di usia 22 tahun. Kepergiannya ke tanah suci bukan semata untuk menunaikan Rukun Islam yang kelima, melainkan juga untuk mempelajari ilmu agama dan menambah wawasan keilmuannya. Di Mekkah dia bersentuhan dengan tulisan-tulisan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syaikh Ahmad Khayyat. Di Mekkah pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbulloh (tokoh Nahdatul Ulama). Setelah dirasa cukup menggali ilmu di tanah suci, pada tahun 1911 M. Abdul Halim kembali ke tanah air, sehabis tiga tahun bermukim di sana.

Selain bisa menguasai bahasa Arab dengan tartil, dia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Nasrani di Cideres) dan bahasa China dari orang China yang tinggal di Mekkah. Dengan perbekalan pendidikan yang cukup memadai dan hasil dari tukar pikirannya dengan banyak tokoh besar selama ini, baik di luar maupun dalam negeri, menimbulkan KH. Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam tekad beliau. Ia tidak mau bekerja sama atau berurusan dengan pihak kolonial. Bahkan pada dikala dia ditawari mertuanya menjadi pegawai pemerintah, dia menolaknya.

Inilah tombak munculnya jiwa nasionalisme pada diri KH. Abdul Halim. Meskipun perjuangannya tidak dengan senjata ataupun maju ke medan tempur dengan mempertaruhkan jiwa raganya, namun KH. Abdul Halim tak kalah andil dalam memperjuangkan bumi Indonesia dan merebutnya dari tangan penjajah. Sepulangnya dari Mekkah, dia membawa semangat dan tekad yang membara, yaitu melaksanakan perbaikan kehidupan masyarakat terutama pribumi. Untuk mewujudkan cita-citanya, dia menempuh jalur pendidikan (At-Tarbiyah) dan penataan ekonomi (Al-Iqtisadiyah).

Tahun 1911 dia melancarkan misinya. Di atas tanah milik mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, dia mendirikan sebuah forum pendidikan agama, yang kemudian diberi nama Majlis Ilmu. Lembaga itu bertempat di sebuah surau sederhana yang terbuat dari bilik bambu. Dalam memberi pelajaran kepada para santrinya, Abdul Halim dibantu oleh mertuanya. Semakin lama, acara Majlis Ilmu semakin berkembang pesat dan sebuah asrama berhasil dibangun sebagai tempat tinggal para santri.

Pada tahun 1912, KH. Abdul Halim menyempurnakan Majlis Ilmi menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub yang aktivitasnya tidak hanya sebatas meningkatkan kualitas pendidikan saja, melainkan juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha abnormal yang menguasai pasar juga melawan penindasan para kolonial Belanda terhadap rakyat pribumi, juga dalam bidang sosial dan kemasyarakatan.

Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang yang disebutnya dengan Islah As-Samaniyah, yaitu, Islah Al-Aqidah (perbaikan bidang akidah), Islah Al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah), Islah At-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), Islah Al-Ailah (perbaikan bidang keluarga), Islah Al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan), Islah Al-Mujtama (perbaikan bidang masyarakat, Islah Al-Iqhsad (perbaikan bidang perekonomian) dan yang terakhir Islah Al-Ummah (perbaikan bidang korelasi umat dan tolong menolong).

Namun sangat disayangkan, organisasi Hayatul Qulub tidak berumur panjang. Organisasi yang terus berkembang dan keberadaannya yang sanggup memperbaiki keadaan masyarakat kecil, menciptakan pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara belakang layar pemerintah mengutus polisi rahasia (Politiek Inlichtingn Dienst / PID) untuk mengawasi Abdul Halim dan organisasinya.

Tahun 1915, Hayatul Qulub dibubarkan dengan alasan organisasi tersebut mengganggu keamanan lantaran menjadi penyebab terjadinya kerusuhan akhir persaingan dengan para pedagang China yang kadang kala mengakibatkan perkelahian (perang mulut, juga secara fisik) antara pribumi dan pedagang China. Meski dibubarkan, KH. Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah. Kegiatan-kegiatan usaha tetap berjalan.

Pada 16 Mei 1916, Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah Al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus membuatkan bidang pendidikan. Dalam organisasi ini, dia menjalin korelasi dengan Jam’iyat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial sanggup merongrong kewibawaan mereka, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Namun dengan dorongan sahabatnya, HOS Tjokroaminoto (presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Oelama (PO). Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. selang kurang lebih tujuh tahun kemudian, organisasi ini sudah meluas hingga ke seluruh Jawa dan Madura, dan gres pada tahun 1937, persebarannya meliputi hampir keseluruhan wilayah Indonesia.

Demi untuk terus mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan atau dana, KH. Abdul Halim membuatkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mempelopori berdirinya perusahaan percetakan pada tahun 1930. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1939 dia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya yang pribadi di bawah kendali dan pengawasan beliau.

Untuk mendukung lajunya perusahaan-perusahaan tersebut, para guru yang aktif mengajar diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak cukup hingga di situ, KH. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya yaitu Fatimiyah.

KH. Abdul Halim juga memandang perlu diajarkannya bekal keterampilan kepada anak didiknya, semoga kelak dikemudian hari mereka bisa hidup sanggup berdiri diatas kaki sendiri tanpa harus berpangku tangan kepada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah atau pesantren kerja bersama semacam SMK, berjulukan Santi Asromo pada bulan April 1942, bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Selain membuatkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin korelasi dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, menyerupai dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad Al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya yakni mengukuhkan dan mempererat ukhuwah islamiyah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan dan mengokohkan syiar Islam; guna mengusir penjajahan di bumi Indonesia.

Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliyah, Abdul Halim menganut paham Ahlussunah Waljama’ah yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942, dia mengubah Persyarikatan Oelama menjadi Perikatan Umat Islam yang kemudian bergabung dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) pada tahun 1952 dan namanya menjadi Persatuan Umat Islam(PUI) yang berkedudukan di Bandung.

Selain sibuk dengan aktivitasnya membina organisasi PUI, dia juga aktif berperan dalam aneka macam kegiatan politik yang bertujuan menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 dia diberi amanat menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Kemudian pada tahun 1928 dia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bahu-membahu dengan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Beliau juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, sehabis MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), dia menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau juga termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI / Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan para kerabat bersahabat dan sahabat-sahabatnya, dia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan selalu mengutamakan jalan tenang dalam menuntaskan segala problem daripada melalui kekerasan dan pemberontakan.

Pada tahun 1940, dia bersama dengan KH. A. Ambari mendatangi Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi aksi Belanda pada tahun 1947, dia bersama dengan rakyat juga tentaranya mundur ke pedalaman untuk menyusun sebuah seni administrasi melawan penjajahan Belanda. Beliau juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.

Kegiatan demi kegiatan terus dilakukan KH. Abdul Halim demi mengembalikan tanah air tercintanya kembali pada masa keemasannya. Salah satu kegiatan yang menonjol yakni acara proteksi kepada para pelajar dengan membentuk ‘Anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917 – 1920 telah dibangun 40 madrasah, sebagian besar diantaranya berdiri di Jawa, dengan metode pengajaran modern , yang pada dikala itu mendapat saingan dari aneka macam pihak. Semangat nasionalisme yang ditorehkannya pada bumi pertiwi sangat besar peranannya, meski tidak dilakukan di medan tempur, dia membuktikannya melalui kegiatan-kegiatan yang sangat berperan dalam misi membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, menyerupai yang dicita-citakan olehnya dan tentu oleh semua rakyat Indonesia.

Melihat jejak sejarah yang ditorehkannya, tidak salah bila KH. Abdul Halim mendapat gelar satria nasional, meski namanya tidak sekondang Bung Tomo atau Muhammad Natsir. Namun jasanya dalam keikutsertaannya mendirikan negeri ini akan selalu menjadi pujian setiap elemen bangsa terutama bagi kami, orang Majalengka sebagai tempat kelahiran beliau. Kami sangat besar hati mempunyai KH. Abdul Halim.

Dari secarik sejarah lokal KH. Abdul Halim di atas, kita sanggup menarik kesimpulan, bahwa sekecil apapun tugas sejarah lokal, sangat berarti besar dalam menunjukkan sumbangsih terhadap sejarah nasional. Masih banyak sejarah lokal lainnya yang apabila dikorek lebih dalam akan menghasilkan sebuah balasan yang luar biasa atas teka-teki yang selalu di jawab singkat oleh sejarah nasional. Oleh lantaran itu sejarah lokal sangat besar lengan berkuasa dalam memancing semangat nasionalisme bangsa yang kian usang energi kecintaannya harus dipompa lagi semoga tanah air kita yang kaya ini tetap terjaga kewibawaannya dan terus menjadi pujian bersama.
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar