Rabu, 12 September 2018

Tradisi Sedekah Bumi Di Cirebon

ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan siklus hidup dan keseharian yang mereka  Tradisi Sedekah Bumi di Cirebon
Seperti halnya ritual-ritual zaman dulu yang selalu berkait erat dengan siklus hidup dan keseharian yang mereka jalani ibarat upacara budbahasa menyangkut kelahiran, perkawinan, janjkematian dan mata pencaharian. Maka, di Cirebon pun ada satu upacara budbahasa yang berkait dengan mata pencaharian mereka yang secara umum dikuasai bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Untuk para nelayan, mereka rutin menggelar upacara sekaligus pesta rakyat yang disebut nadran, larungan dan sebagainya. Sedangkan bagi para petani mereka biasanya menggelar banyak sekali upacara dan ritual yang bekerjasama dengan tanah yang salah satunya akan bahas kali ini yakni sedekah bumi.


Upacara budbahasa sedekah bumi ini berkait erat dengan iman orang-orang zaman dulu akan adanya dewa-dewa dan mereka percaya bahwa pada tiap-tiap segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup insan dikuasai dan dijaga oleh dewa-dewa. Dengan keyakinan atas adanya yang kuasa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang marah dan mendapat fasilitas mencapai hasil-hasil usahanya.

Kemudian Islam masuk ke wilayah Cirebon. Tapi meskipun tradisi sebelum masuknya Islam ini yaitu sebuah ritual untuk menyembah dewa-dewa, Islam tidak serta merta menghapuskan ritual ini dari tengah-tengah masyarakat Cirebon, dan malahan memanfaatkan kearifan lokal ini sebagai media dakwa yang efektif. Pendekatan budaya ibarat inilah yang pada kenyataannya memang menciptakan Islam lebih gampang diterima di kalangan masyarakat Cirebon. Karena menyembah kepada selain Allah merupakan hal yang diharamkan oleh agama Islam, maka sesembahan kepada yang kuasa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali, tetapi diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara baru, sedekah bumi. Upacara gres ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482-1568 M), tempatnya di Puser Bumi.

Puser Bumi sendiri merupakan sebutan untuk sentra kegiatan atau sentra pemerintahan Wali Songo. Konon, sehabis Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, sentra pemerintahan atau Puser Bumi yang semula berada di Ampel oleh anggota Wali Songo yang tersisa setuju dipindahkan ke Cirebon yang tepatnya di Gunung Sembung. Gunung Sembung ini kini lebih dikenal dengan sebutan Astana Gunung Jati.

Tradisi Sedekah Bumi ini pada perjalanannya kemudian dilaksanakan pada bulan ke empat tiap tahunnya mengikuti siklus panen padi di setiap desa yang masuk ke dalam wilayah Cirebon. Pada dikala ini yang masih berpengaruh memegang tradisi Sedekah Bumi yaitu Desa Astana Gunung Jati. Pelaksananya yaitu Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan dari balong milik keraton di beberapa tempat (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka budbahasa lainnya, dalam Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi.

Setelah hari H untuk menggelar upacara Sedekah Bumi itu resmi ditetapkan, maka kemudian disebarkan kepada seluruh penduduk bahwa pada hari yang telah ditentukan itu akan diadakan upacara budbahasa Sedekah Bumi. Melalui para pemuka budbahasa penduduk mengirimkan "Gelondong Pengareng-areng". Gelondong Pengareng-areng yaitu penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya. Biasanya berupa hasil bumi ibarat Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah ibarat ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah ibarat buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak ibarat Ayam, Itik, Kambing, Kerbau, Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil tangkapannya dari bahari sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun. Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan alasannya yaitu paksaan atau peraturan tertentu, tetapi alasannya yaitu kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan aturan budbahasa yang aturan-aturan tidak tertulis.

Upacara budbahasa Sedekah Bumi sendiri dibuka dengan program Srakalan, pembacaan kidung yang dilakukan oleh pemuka adat. Kemudian program berikutnya yaitu ritual pencungkilan tanah sebagai simbol bahwa mereka menyayangi tanah sebagai tempat penghidupan sekaligus juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahi tanah yang subur. Dan menjelang siang, program dilanjutkan dengan arak-arakan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Araka-arakan ini sendiri berfungsi sebagai ajang pesta rakyat di mana segala lapisan masyarakat ikut berpartisipasi dengan banyak sekali pertunjukan kesenian yang beragam. Dan ibarat lazimnya sebuah pesta rakyat, maka segala jenis pertunjukan kesenian ditampilkan di sini oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemudian pada pagi berikutnya barulah dilaksanakan upacara ruwatan sebagai program inti sekaligus juga sebagai epilog dari seluruh rangkaian upacara Sedekah Bumi.

_______________
Sumber gambar diambil dari: blog halimisemm-carubannagari
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar