Sabtu, 22 September 2018

Bentuk Penghargaan Warga Cirebon Untuk Seniman Mereka

seniman besar sedang berpentas di sebuah kampung dan kebetulan di kampung tersebut ada war Bentuk Penghargaan Warga Cirebon Untuk Seniman Mereka
H. Abdul Adjib 

Dulu, pada dasawarsa 80-an sampai 90-an ketika ada seniman-seniman besar sedang berpentas di sebuah kampung dan kebetulan di kampung tersebut ada warga yang melahirkan bayi maka ada semacam tradisi untuk meminta sang seniman tersebut menawarkan nama pada sang bayi sekaligus mengangkatnya sebagai anak. Anak dalang begitulah sebutannya. Salah satu photo yang berhasil di sanggup oleh dari salah seorang warga di Desa Cidenok, Majalengka sekaligus mewawancarainya didapat kesimpulan bahwa yang mendorong warga pada dikala itu yaitu alasannya yaitu menjadi anak angkat (anak akon-akon) sang dalang (seniman) besar merupakan suatu pujian tersendiri.




Pada masa itu, profesi seniman di mata masyarakat merupakan suatu profesi yang cukup bermartabat, "Dudu pegaweane wong biasa," begitu kata sang nara sumber. Meski seniman panggung bukan merupakan jenis profesi yang berpenghasilan besar namun ada semacam rasa pekewuh dan hormat pada profesi ini alasannya yaitu pekerjaan sang seniman merupakan pekerjaan yang dianggap mulia yakni menghibur orang. Tidak semua orang mempunyai bakat ibarat yang dimiliki sang dalang.

Makanya, ibarat yang terlihat dalam photo, meski dikala itu belum ada penerangan listrik di kampung tersebut sang nenek tetap memaksakan diri menggendong cucunya yang belum juga berumur satu hari itu ke panggung demi menerima hadiah nama dari sang dalang. Sebuah penghormatan yang begitu besar dari warga untuk sang seniman.

Di Desa Cidenok sendiri dari penelusuran menemukan tak kurang dari 4 orang yang menjadi anak angkat sekaligus mempunyai nama derma dari sang dalang. 2 orang menerima nama dari pemimpin Putra sangkala yakni Abdul Adjib dan dua lainnya masing-masing dari pemimpin Sandiwara Indra Putra dan Dalang Wayang Kulit populer pada masa itu. "Tiap dalang sing ngaku anak ning kula ditanggap ning desa kien lan tangga desa biasane kula dikabari ambir bisa teka. Baka wis ketemu ya biasane dijak ngobrol. Wis kawin durung, due anak pira. Pokoke ya kaya anak ketemu bari bapane bae." ("Tiap dalang yang mengangkat anak sama saya berpentas di desa ini ataupun di desa tetangga biasanya saya akan dikabari semoga bisa datang. ketika ketemu ya ngobrol macam-macam. Sudah kawin belum, punya anak berapa. Pokoknya ya ibarat bertemunya orang bau tanah dengan anaknya," -pen) Empat orang dalam satu desa untuk masa itu ketika tidak semua orang bisa mendatangkan seniman besar (nanggap, begitulah istilahnya) pun di tambah lagi tidak setiap sang seniman besar mentas di suatu kampung ada ibu-ibu yang melahirkan. Maka empat orang anak dalang dalam satu kampung terang bukanlah jumlah yang sedikit.

Jadi, meski prosesi derma nama dan pengangkatan anak itu terbilang sederhana dan mendadak tapi bukan berarti lalu setelahnya dilupakan begitu saja. Hubungan ayah - anak itu tetap terjalin meski tentu tak ibarat orang bau tanah dengan anak kandung sendiri.

Sayangnya, seiring makin majunya tatanan kehidupan manusia, tradisi itu kini hampir ditinggalkan kalau tidak dibilang hilang sama sekali. Mungkin alasannya yaitu kini di zaman yang kian berderap mengejar keduniawian orang lebih resfect pada profesi yang lebih gampang mendatangkan uang ibarat Dokter, insinyur dan sebagainya. Dan imbasnya profesi dalang panggung pun tak lagi dipandang sebagai pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Hanya diperlukan sebagai pemeriah hajatan. Dampak pribadi ari semua itu tentu yaitu tak lagi ada seorang nenek yang repot-repot membawa cucu tercintanya ke atas panggung demi sepotong nama dan ratifikasi dari sang dalang panggung. Sangat disayangkan memang. Duh, dalang...... nasibmu kini.

Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar