Sabtu, 08 September 2018

Iwak Bekasem; Kuliner Khas Panjang Jimat

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW di keraton Kesepuhan Cirebon yang kerap disebut dengan istilah Muludan, ternyata tak hanya menarik dari sisi ritualnya saja, tapi juga dari segi kulinernya. Ya, hidangan yang menyertai dalam puncak ritual muludan, yakni pada program panjang jimat, salah satunya dan selalu ada yakni hidangan iwak bekasem.

Kenapa, hidangan hidangan iwak bekasem ini terbilang istimewa yakni alasannya yakni hidangan yang satu ini memang hanya disajikan pada dikala upacara penting di Keraton Kasepuhan Cirebon menyerupai halnya pada  upacara ritual Panjang Jimat. Tidak hanya itu, pembuatannya pun tidak oleh sembarang orang dan memakan proses yang sedemikian panjang hingga satu bulan sebelum kesudahannya hidangan iwak bekasem ini disajikan.

Khusus untuk hidangan iwak bekasem pada upacara panjang jimat, persiapan pembuatan iwak bekasem sudah dimulai semenjak tanggal 5 Shafar dalam penanggalan Hijriah. Proses pembuatan iwak bekasem ini memakan waktu selama satu bulan penuh dan gres selesai pada tanggal 5 Rabiulawal, untuk selanjutnya, iwak bekasem akan disajikan pada malam puncak peringatan muludan atau biasa disebut panjang jimat yakni pada 12 Rabiulawal.

Resep pembuatan masakan iwak bekasem ini sendiri sudah ada turun temurun di Keraton Kasepuhan, tepatnya semenjak zaman Syech Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan menyerupai namanya, iwak bekasem berbahan utama ikan (iwak = ikan dalam bahasa Cirebon) yakni ikan kakap dan tenggiri. Cara pembuatannya sendiri yakni pertama-tama ikan dipotong-potong kecil dan kemudian dicuci bersih. Setelah ikan bersih, barulah kemudian ikan direndam dengan aneka bumbu rempah yang diantaranya bawang merah, bawang putih, kunyit, merica, ketumbar, kemiri, gula merah dan asam jawa atau dalam bahasa Cirebon asem kawak.  Asem kawak inilah yang akan merubah warna ikan menjadi agak kemerahan. Selain untuk memerahkan daging ikan, asem kawak ini pun berfungsi sebagai pengawet alami. Karenanya, tak diharapkan pengawet kimia untuk mengawetkan ikan. Penggunaan asem kawak itu juga yang menjadi ciri khas yang membedakan bekasem dengan masakan ikan lainnya.

Selanjutnya, iwak bekasem yang sudah direndam bersama rempah-rempah tadi akan diperam selama sebulan penuh di dalam gentong atau guci kuno peninggalan istri Sunan Gunung Jati yakni Putri Ong Tin Nio. Selama pemeraman ini, guci harus tertutup tepat untuk memastikan tak ada udara yang masuk. Selain ditutup dengan memakai epilog gentong, bab atas gentong pun ditutup dengan kertas semen yang diikat besar lengan berkuasa dengan tali. Tak cukup hingga disitu, bab atas kertas semen pun ditempeli dengan memakai debu dari bakaran kayu. Adapun fungsi dari debu bakaran kayu ini sendiri yakni untuk lebih memastikan bahwa tak ada pori-pori sekecil apapun yang terbuka dan dapat menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam guci. 

Setelah genap satu bulan, atau tepatnya pada 5 Rabiulawal (5 Mulud dalam penanggalan Jawa), gentong tersebut dibuka. Ikan-ikan yang ada di dalam gentong kemudian dibersihkan dengan memakai air bersih. Namun, proses pembersihannya pun dihentikan dilakukan oleh sembaran orang. Pembersihan harus dilakukan oleh ibu-ibu dari Mesjid Agung yang dipimpin pribadi sang permaisuri. 

Setelah dicuci higienis memakai air, iwak bekasem kemudian ditiriskan di atas tampah yang sudah diberi tangkai padi. Selanjutnya, sekitar tiga hari kemudian, ikan tersebut gres dimasak dan dijadikan lauk pauk nasi untuk panjang jimat pada malam puncak peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW. 



Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar