Kamis, 27 September 2018

Musik Cirebon, Dari Tradisi Sampai Pop

Gong Sekati
MUSIK yang hanya digelar setahun sekali pada awal Rabiul Awal ini dikenal dengan nama "gong sekati". Satu rentetan musik yang terdiri atas gamelan Jawa (Cirebon) yang hanya ada di Keraton Kanoman. "Gong sekati" merupakan ucapan pengecap lokal Cirebon yang berarti gong syahadatain. Istilah sekaten juga ada di Keraton Yogya dan Surakarta yang digelar pada ketika Grebeg Mulud. Lagunya sederhana "Bango Butak" yang ibarat iringan gamelan renteng penyambut tamu agung.

Kisah dari lisan ke lisan menyebutkan, gamelan inilah yang konon bisa menciptakan masyarakat Cirebon pra-Islam tergetar hatinya ketika mendengarkan irama lagu tersebut. Pada ketika gong dibunyikan, maka atas ajuan Sunan Kalijaga untuk membaca dua kalimat syahadat. Saat itulah istilah syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat diucapkan menjadi sekati. Terkenalah kemudian nama "gong sekati."
Waditra yang terdapat dalam gamelan sakati Cirebon ialah bonang, saron, beduk, cekebres, goong, kemanak, dan kebluk. Penclon bonang diletakkan sederet dalam dua ancak. Ancak adakala diletakkan memanjang atau menyambung di antara keduanya, tetapi adakala diletakkan berdampingan sehingga nayaga (penabuh) duduk secara berhadapan. Lagu gamelan sakati Cirebon di antaranya lagu "Rambon", "Sekaten", dan "Bango Butak". Lagu-lagu gamelan sakati berdasarkan tradisi dibentuk oleh Sunan Kalijaga (http://e-travelplan.com.)

Abad ke-14 dan ke-15 oleh masyarakat Cirebon dianggap sebagai kurun pencerahan. Alasannya, pada kedua kurun tersebut terjadi perubahan keyakinan secara besar-besaran. Dari anutan agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal lainnya yang ada beralih kepada pemikiran gres ketika itu, yakni Islam.

Momen ini yang kemudian menjadi tonggak perubahan dalam segala tatanan, baik dari keyakinan maupun produk kebudayaan termasuk seni musik, tari, rupa, dan vokal. Gamelan atau tabuhan yang dipakai para sunan itu pun kemudian dijadikan induk dan bermetamorfosis aneka macam seni pertunjukan, baik musik, vokal, maupun sastra. Gamelan sekaten dianggap masyarakat Cirebon sebagai gamelan induk yang menjadi patokan ritme bagi gamelan-gamelan lainnya.

Gamelan renteng
Pada seni musik, gamelan sekaten memperlihatkan inspirasi terhadap seniman ketika itu untuk membangun sebuah gamelan pengiring akseptor tamu agung. Gamelan itu dikenal sebagai "gamelan renteng". Catatan Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Cirebon (1992/1993) menyebutkan, gamelan ini santunan dari Mataram untuk Cirebon, dibawa Ki Ageng Gamel Syekh Windu Aji pada masa Sunan Gunung Jati. Gamelan renteng disebut juga "gamelan dawa". Berasal dari dakwah, yang berarti gamelan tersebut sebagai alat dakwah.

Pada masa berikutnya, gamelan renteng merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan pergelaran jaran lumping. Jaran lumping dalam khazanah kesenian Cirebon berbeda dengan jaran kepang yang biasa dimainkan pada masa kini. "Jaran lumping" hanya membawakan tarian tanpa mempertunjukan atraksi makan beling, rumput, dan atraksi lainnya.

Gamelan renteng yang dianggap sebagai karawitan keraton menyatu dengan jaran lumping yang merupakan kesenian rakyat. Seperti pada musik tradisi Jawa Tengah (Waridi, Musik Tradisi Jawa Tengah, 2002) secara garis besar sanggup dikelompokan menjadi dua kelompok, yakni musik tradisi keraton dan musik tradisi rakyat.

Musik tradisi Cirebon pun sepertinya tak berbeda dengan musik-musik tradisi lainnya di Jawa. Karena memang Jawa merupakan sentra kebudayaan yang bisa memperlihatkan imbas terhadap musik-musik tradisi lainnya. Pada gamelan sekati misalnya, gamelan ini dianggap sebagai hak paten keraton, baik Kanoman maupun Kasepuhan. Sementara gamelan renteng dan jaran lumpingnya merupakan musik dan tarian tradisi yang dipelihara rakyat.

Angklung Bungko
Sebenarnya musik ini merupakan musik dan tarian perang (baca: tawuran) antarwarga desa pada masa awal Islam. Bungko merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencarian sebagai nelayan. Dari desa itulah "angklung bungko" lahir. Alat musik yang dipakai dalam kesenian ini ialah angklung. Bentuknya hampir sama dengan angklung Sunda masa kini.

Pada awalnya merupakan musik ritmis dengan memakai media kentongan (kohkol) yang terbuat dari potongan ruas bambu. Angklung bungko diperkirakan lahir menjelang kurun ke-17 sehabis wafatnya Sunan Gunung Jati. Diduga, kesenian ini lahir secara kolektif. Tercipta atas dasar luapan emosi kegembiraan sehabis mereka memenangkan perang (tawuran) melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan). "Tawuran" sebagai akhir perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip pemikiran Islam yang diajarkan Sunan Gunung Jati. Karena itu gerakan-gerakan tari angklung bungko lebih merupakan dari penggambaran peperangan ketika mereka mematahkan serangan Pangeran Pekik.

Ada empat tarian dalam angklung bungko, antara lain 1. Panji, menggambarkan perilaku berzikir. 2. Benteleye, menggambarkan perilaku bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan. 3. Bebek ngoyor, menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan. 4. Ayam alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari target pemilih.

Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan banyak jasa semasa hidupnya, sekarang seakan-akan menjadi simbol kehebatan masyarakat bungko. Karena itu untuk mengenang jasa-jasa leluhurnya, mereka mengimplementasikannya dalam upacara ritual budbahasa yang dikenal dengan ngunjung.

Terbang brai & rudat
Terbang atau trebang gotong royong merupakan bentuk tabuhan semacam genjring. Sedangkan brai berasal kata dari "birahi" yang berarti kasmaran atau jatuh cinta. Namun berahi di sini sebagai "berahi" kepada Allah atau lazim dikatakan "Brai maring Pengeran" (cinta kepada Allah).

Dari aneka macam catatan yang ada, seni brai diperkirakan telah dikenal semenjak kurun ke-13 sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon. Diceritakan, berawal dari tiga perjaka Timur Tengah berjulukan Sayid Abdillah, Abdurrakhman, dan Abdurrakhim diperintahkan orang tuanya mencari seorang berjulukan Syekh Nur Jati di Tanah Jawa (Cirebon) untuk mencar ilmu dan memperdalam pemikiran Islam. Selama dalam perjalanan itulah mereka menyenandungkan syair-syair mengenai keagungan Allah dan rasul-Nya, Muhamad saw. Mendengar irama itu, masyarakat yang belum mengenal Islam berbondong-bondong mengikuti tiga perjaka tampan itu dari belakang sampai ke Gunung Ampara Jati pimpinan Syekh Nur Jati (Disbudpar Kota Cirebon, 2006). Brai digelarkan biasanya pada malam Jumat atau pada acara-acara tertentu, ibarat mitung wulan, puputan, dan acara-acara lain yang berkaitan dengan syukuran.

Penggunaan genjring sebagai alat tabuh dilakukan juga pada seni rudat. Bedanya irama genjring rudat lebih keras, bergairah, dan beraturan. Sedangkan pada brai, genjring ditabuh dengan sangat lembut dengan diselingi syair-syair keagungan dan ketauhidan. Seni rudat lebih menekankan pada irama yang keras dan diiringi selawat nabi serta tarian pencak silat.

Abtadi-ul imlaa-a bismidzdzatil ‘aliyah (Aku memulai menulis – kisah maulid Nabi Muhammad saw. – ini dengan menyebut nama Allah Zat Yang Mahamulia). Begitulah mereka mengucapkan sebait syair yang ditulis Syaikh Ja’far Al Barzanjie sebagai awal dari lagu-lagu rudat yang akan mereka mainkan. Sudah tentu syair itu diucapkan sebelumnya mereka membaca basmallah.

Syair-syair karya Al Barzanjie memang telah usang menjadi pilihan kaum santri di pinggiran jalur pantura dalam memuja-muji Allah SWT dan memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Mereka melagukannya di masjid-masjid, musala, dan rumah-rumah pada hari-hari tertentu. Mereka terus berupaya mengenang Rasulullah Muhammad melalui syair-syair tersebut.

Pada ketika upacara tradisional mitung wulan (tujuh bulan), puputan, khitanan, nyukur (mencukur) rambut jabang bayi yang telah berumur 40 hari atau pada saat-saat sukacita sebagai rasa syukur dan penghormatan terhadap Rasulullah, genjring rudat dimainkan. Beberapa lagu cuplikan dari syair Al Barzanjie yang paling populer, di antaranya Al Muqoddamili dan Al Musaf fa ufil waroo.

Rudat yang diduga berasal kata dari iradat merupakan salah satu sifat Allah Yang Mahaagung, berarti berkehendak. Kehendak Tuhan Yang Mahabenar itulah yang ditafsirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. ke muka bumi sebagai rahmatan lil’alamiin. Rudat kemudian menjadi bentuk kesenian tradisional di Cirebon.

Pada awalnya rudat hanya dimainkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima sampai sepuluh orang. Mereka bermain di masjid dan surau-surau. Dari daerah ini, dakwah Islamiyah dikembangkan alasannya ialah dari syair-syair yang dinyanyikan seluruhnya berisi pemikiran untuk menyembah Allah Yang Maha Tunggal dan meneladani Rasulullah.

Bentuk seni lain yang serupa, tapi tak sama ialah gembyung. Iramanya lebih halus, demikian pula lagu-lagu yang dibawakannya terasa sangat lembut. Namun, baik rudat, brai, maupun gembyung intinya mempunyai nilai dasar seni yang sama, yakni melagukan selawat nabi.

Pada seputar tahun 1960-an, seni rudat mengalami kejayaannya. Bahkan, kemudian dimodifikasi dengan atraksi-atraksi akrobat yang diramu dengan debus. Kesenian ini pun sempat berganti nama menjadi genjring akrobat.

Marhaban yaa marhaban yaa marhaban, marhaban jaddal husaini marhaban. Yaa nabii salaam ‘alaiika yaa rasuul salaam ‘alaika. Yaa habiib salaam ‘alaika shalawaatullaah ‘alaika. Asyraqal badru’alainaa fakhtafat minhul buduruu. "Selamat datang, selamat tiba wahai kakek Hasan dan Husein, selamat datang. Wahai Nabi, agar kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai Rasul, agar kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Wahai kekasih, agar kesejahteraan selalu melimpah kepadamu. Semoga rahmat Allah selalu tercurah kepadamu. Telah terbit bulan purnama kepada kita, maka bersembunyi dan suramlah semua bulan dibandingkan bulan purnama itu…."


Kitab Barzanjie memang mempunyai makna tersendiri bagi kaum santri "pinggiran" di sepanjang jalur pantura. Karya sastra terkemuka di Timur Tengah pada seputar kurun ke-12 itu telah menjadi bab kehidupan sastra lisan mereka.

Tarling
Kesenian yang satu ini merupakan puncak kreativitas seniman Cirebon dalam merombak tradisi gamelan menjadi gitar dan suling. Tarling lahir diperkirakan semenjak masa pos-kemerdekaan, yakni sekitar tahun 1945-an. Semula kesenian ini merupakan bab dari kesenian eksklusif untuk merayu gadis atau janda pada masa itu. Lagu-lagu yang dibawakannya bersifat improvitaris, seadanya, dan seketemunya. Pada periode berikutnya tarling digubah dalam bentuk "kiseran" (balada). Muncullah opera rakyat Cirebon. Salah satu kiser terkenal, di antaranya "Kiser Saidah Saini" berikutnya "Kiser Baridin dan Ratminah" Berbarengan dengan itu tarling terus mengalami perubahan dalam perjalanannya.

Tahun 1965, Kepala RRI Cirebon ketika itu Fajar Madraji memberi cap tarling sebagai "Melodi Kota Udang." Sejak ketika itulah tarling mengalami masa keemasannya, sehabis munculnya dua tokoh terkemuka H. Abdul Adjib dan Soenarto Martaatmadja. Dari sini fenomena PoP (protest of people) terjadi. Berbeda dengan masa kiseran yang mengandalkan improvisasi dari para pemainnya dan tidak mempunyai durasi yang pasti, maka pada era Melodi Kota Udang, lagu-lagu tarling ditentukan durasinya lantaran bukan hanya untuk kepentingan panggung, tetapi juga industri rekaman. Salah satu teladan lagu tarling "Melati Segagang" ciptaan Soenarto Martaatmadja "
Melati segagang, cukul ning pekarangan,
Mambune rum mawangi, langka sing duweni.

Ketika mulai memasuki dunia rekaman, tarling pun terpengaruhi untuk melaksanakan kerja sama dengan dangdut, musik pop, dan bahkan rock. Saat ini tarling mulai kehilangan rohnya, yang ada ialah "dangdut Cerbonan". Kalangan seniman tarling, ibarat H. Abdul Adjib dan Soenarto tak rela lagu-lagu semacam itu disebut "tarling dangdut", yang benar benar ialah "dangdut Cerbonan". Tak ada dangdut dalam tarling," kata mereka.

****

(Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cerbon)***
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar