Minggu, 09 September 2018

Perkembangan Etnis China Muslim Di Cirebon

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan Ipoleksosbud akan terjadi perubahan-perubahan tata nilai yang terserap. Gejala-gejala menuju ciri-ciri masyarakat modern telah mengubah sikap prilakunya. Orang yang sedang mengalami perubahan status sosial ekonomi, mirip pendidikan, jabatan dan materi bisa mengubah contoh pikir insan menjadi ekslusif, fungsional. Dalam melaksanakan asimilasi, sering terjadi nilai yang terserap hanya nilai-nilai sekundernya saja, tetapi nilai primernya terlewatkan begitu saja, sehingga mereka sering bersikap berlebihan. Menyadari itu semua bahwa masing-masing Etnis untuk menjalin kekerabatan antar Etnis mempunyai nilai budaya yang berifat positif dan negatif, maka dalam melaksanakan interaksi antar Etnis hendaknya nilai yang positif dari masing-masing Etnis diketengahkan, Sedangkan nilai negatif tetap disisihkan. 

Bentuk perhatian terhadap lingkungan sosial tidak selalu dalam bentuk perhatian pada bangsa dan Negara dalam skala nasional, malainkan sanggup juga menawarkan perhatian kepada kelompok lain dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk perhatian tidak selalu sesuatu yang berlebihan, melainkan kalau sekedar sapaan yang masuk akal sekalipun itu warga masyarakat menengah kebawah ‘sinon pri’ maka dalam bentuk pembauran telah menandakan akreditasi eksitensi orang tersebut sebagai masyarakatnya si pri. Sebaliknya sekalipun orang Etnis menyapa dengan masuk akal terhadap warga pri, hal ini merupakan akreditasi akan eksitensinya insan Cina yang tidak perlu dikhawatirkan dengan sikap yang penuh prasangka dan curiga terhadap warga pribumi. Kiranya tugas aktif dari kedua belah pihak sangat diharapkan. Menghargai individu yang satu dengan yang lainnya sebagai makhluk yang mempunyai derajat yang sama, sehingga individu yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama.

A. Perkembangan dari Generasi ke Generasi 
Masyarakat Muslim Cina di Indonesia sebenarnya sudah terwujud pada awal perkembangan Islam yaitu simpulan periode 15. Akan tetapi perwujudannya tidak menjadi suatu masyarakat tertentu yang ekslusif. Mereka mempunyai kebudayaan yang unik, yaitu perpaduan antar kebudayaan Tionghoa, Islam dan pribumi sehingga pada masa perkembangan Islam di nusantara ini tidak dijumpai problem Cina ataupun problem Pri dan Nonpri (Budiman, 1979: Hal 9-10). 

Menurut Haji Ma Huan bahwa di daerah Jawa Timur, terdapat tiga golongan bangsa Islam. Yang pertama orang-orang Islam yang berasal dari kerajaan-kerajaan abnormal yang terletak di sebelah barat dan telah tiba ke Majapahit sebagai pedagang. Pakaian dan masakan dari tiap-tiap orang tersebut kelihatan higienis dan layak. Kedua, orang-orang Tionghoa yang berasal dari Yunan. Pada masa dinasti Tang, Chang, Chou, Chiunn-chon dan daerah-daerah lain (Yuanzhi : 2005, 24-25).

Sama mirip halnya di atas juga mereka bersih, serta banyak dari mereka yang telah mememluk agama Islam, yaitu sudah melaksanakan sembahyang dan berpuasa. Sedangkan dengan kelompok yang ketiga ialah orang pribumi yang masih mempunyai pola-pola hidup dan kebudayaan yang masih terbelakang, (Budiman, 1979: Hal 9-10). 

Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam yang sering dijumpai Haji Ma Huan tersebut ialah mereka yang sudah memeluk agama Islam semenjak masih di Negeri asalnya. Agama Islam sendiri di RRC bukanlah suatu agama yang banyak dipeluk oleh penduduk di negerinya. 

Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa orang diantara anggota masyarakat Tionghoa yang sudah membaur, berhasil menempatkan dirinnya sebagai elite dalam masyarakat. Beberapa tokoh diantara lain ialah Raden Patah, Sultan Demak pertama yang mana diantara mereka ialah peranakan keturunan dari orang Tionghoa. 

Perkembangan generasi ke generasi selalu di temui kesenjangan dalam proses sosialisasi nilai-nilai keIslamannya. Tentang sedikitnya jumlah orang-orang Cina yang memeluk Islam pada masa penjajahan tentu saja ada beberapa faktor yang memepengaruhinya. Diataranya ialah politik pemerintah kolonial yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan yaitu golongan orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Dalam pembagian golongan penduduk yang demikian orang Cina merasa lebih tinggi statusnya dari pada pribumi yang kebanyakan bergama Islam. Disamping itu gelombang imigran dari wilayah utara Cina yaitu daerah Amoy, pada zaman penjajahan. Bukan merupakan orang-orang Cina yang berasal dari wilayah Islam, akan tetapi imigran ini berbeda agama dan berbeda latar belakang kebudayaan yaitu pengembara non muslim. Namun demikian usaha-usaha untuk menyebarkan agama Islam dikalangan Cina di kota Cirebon selalu ada, meskipun tidak secara rutin. Diantara tabligh akbar yang diselenggarakan di belakang kantor Majlis Ta’lim Hidayatullah ialah Bapak H. Yuceng selaku pembicara. 

Pada tahun 1970an yaitu semenjak berdirinya oraganisasi Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) di Cirebon yang sebelumnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, organisasi di Cirebon ini dan bisa mengkoordinir masyarakat keturunan untuk selalu rukun dan hormat-menghormati antara sesama umat, sekalipun nonpri yang belum masuk Islam. Menurut bapak Yuceng selaku pembicara dalam setiap pengajian umum ialah hanya bersifat sekedar mengadakan pengajian umum saja bukan yang bersifat besar-besaran mirip peringatan Isra Miraj, pengajian-pengajian dan bimbingan keagamaan secara intensif belum pernah kelihatan, meskipun para pembimbing telah berulang kali mengiyakan kesediannya untuk membimbing mereka (wawancara A. Sugiono, salah satu uztad Pembina Mualaf Cirebon).

Kebangkitan kembali gerakan dakwah islamiyah di kalangan Muslim Cina pada tahun 1980an hingga kini tidaklah merupakan usaha-usaha pengurus PITI pada masa sebelumnya. Bergerak dan yang di gerakan dalam dakwah Islamiah di kalangan Tionghoa Muslim di kota Cirebon ialah pribadi-pribadi yang kebanyakan mulai memeluk Islam pada tahun 1980an hingga sekarang. korelasi antara orang Islam yang dipandang sebagai tokoh dengan Muslim lainnya semata-semata dijalin dengan ukhuwah Islamiah dan bukan melalui organisasi sebagaimana PITI pada masa sebelumnya. Dalam hal pembinaan, Muslim gres yang kini ini sangat terikat dengan guru-guru agama yang mengantarkan mereka masuk Islam.

B. Kelompok Organisasi Keagamaan 
Kelompok organisasi keagamaan di kalangan masyarakat Muslim Cina ada dua macam, yang pertama kelompok sosial keagamaan yang berbentuk organisasi yaitu tingkat nasional yaitu PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) organisasi ini telah mempunyai cabang-cabang kepengurusan di kota dan Kabupaten di Jawa Barat. Kedua kelompok sosial keagamaan yang bersifat ukhuwah Islamiah atau homogen dengan persaudaraan Islam. Kelompok yang kedua ini tidak mempunyai cabang mirip PITI dan lebih bersifat kelompok sosial keagamaan lokal. Meskipun demikian, dibeberapa kota, kelompok keagamaan ini telah membentuk suatu organisasi dan Malis Ta’lim mirip halnya di Cirebon yaitu Majlis Ta’lim Hidayatullah dan MPTC (Masyarakat Peduli Tionghoa Cirebon).

Dalam hubungannya dengan keikutsertaan dalam kelompok keagamaan, sebagian besar Muslim gres tersebut tidak bergabung atau menjadi anggota suatu organisasi atau kelompok keagamaan manapun, bahkan sebagian besar menyatakan tidak bersedia dibawa kesalah satu organisasi keagamaan tertentu. Ketidaksediaan mereka memasuki salah satu organisasi keagamaan tersebut disebabkan lantaran rasa takut yang pada jadinya memungkinkan akan mendatangkan problem pada kaum Tionghoa Muslim nantinnya. 

Perasaan takut terhadap organisasi itu berlaku pada seseorang Muslim Cina lainnya, keagamaan tersebut juga berlaku mirip mereka yang bergabung dalam suatu organisasi PITI tersebut beralasan yaitu dengan masuk organisasi tersebut mereka beranggapan belum sanggup membaur ke dalam masyarakat Bangsa Indonesia secara tuntas. Bahkan ada yang menyampaikan bahwa dengan masuk suatu organisasi, Muslim Cina akan melahirkan suatu ekslusifme baru, padahal mereka berharap dengan memeluk Islam akan merampungkan segala problem ‘Cina’ keturunan di Indonesia. Akan tetapi para Muslim Cina di Cirebon enggan untuk menyampaikan bahwa dirinya sebagai anggota organisasi tertentu. 

Hubungan perdagangan antara negeri Cina dan Indonesia sudah semenjak usang berlangsung. Pedagang Cina tiba ke kota pelabuhan di pantai utara Jawa untuk menukar lada dari Sumatera dengan sutera dan porselin dari Cina. Diantara pedagang-pedagang itu sudah banyak beragama Islam. Orang-orang tersebut kebanyakan dari propinsi Kuantung, Chang Chou, Chuan Choudan daerah Islam lainnya yang berada di Cina. Semula mereka tidak beristri, yang kemudain banyak dari mereka beristrikan perempuan pribumi. Dari sini sudah sanggup dilihat bahwa adanya asimilasi atau perkawinan campuran. Dari perkawinan adonan tersebut sanggup dibedakan dalam banyak hal, orang-orang Tionghoa Muslim yang terdapat di daerah Jawa barat khususnya di daerah Cirebon telah banyak perubahan yang secara luas. Didalam kehidupannya telah mirip orang pribumi asli, yang telah lupa akan bahasa asalnya, dan bahkan dalam ciri fisiknya sering juga sudah mirip orang Indonesia asli. 

C. Keadaan Etnis Tionghoa Muslim 
Pada zaman dahulu semenjak kira-kira setengah periode yang kemudian masuknya seorang Tionghoa ke dalam agama Islam dipandang suatu hal yang sangat menarik perhatian dan jadi perbincangan dimana-mana. Di sebut sebagai saudara baru, meskipun dari masyarakat Tionghoa sendiri dipandang bahwa yang masuk agama Islam itu telah turun jadi “in lander” yaitu gelar yang rendah martabatnya yang selalu dialamatkan negeri sendiri. Demikian besar imbas perasaaan diri itu, apalagi lantaran sebutan sebagai mu’alaf yang diberikan kepada orang yang gres masuk Islam itu. Padahal kalimat mu’alaf tersebut dalam Al Qur’an sendiri mu’alaf ialah orang yang dirangkul hatinya dan disamakan derajatnya dengan orang Islam lainnya, tegak sama tinggi dan duduk sama rendah. 

Sebenarnya orang-orang Belanda tiba ke Indonesia mereka telah menjumpai adanya orang-orang Tionghoa yang beragama Islam. Pada selanjutnya istilah itu berkembang dan mengalami perubahan arti, tidak lagi bagi orang Tionghoa yang bergama Islam, tetapi orang singkeh yang gres tiba dari negeri tiongkok yang sama halnya mirip lainya, sedangkan orang tinghoa yang beragama Islam disebut “peranakan” dan justru dipakai bagi orang Tionghoa yang lahir dari seorang ibu pribumi atau blasteran Tionghoa. 

Pada waktu tersebut orang Tionghoa yang telah bergama Islam bertempat tinggal terpencar di kampung dan pinggiran kota. Diantara kaum Tionghoa yang berada dikampung dan pinggiran, kota ternyata ialah salah satu cuilan dasar dari tujuan yang sama yaitu untuk menyiarkan agama Islam khususnya dikalangan masyarakat Tionghoa. 

Pada masa tahun 70an, minat orang Tionghoa untuk masuk Islam masih relatif sedikit, hal tersebut disebabkan masih adanya sikap permusuhan kepada orang-orang Tionghoa yang sanggup membuat sumber ketegangan, lantaran itu keamanan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Mereka memandang agama lain sanggup menawarkan derma serta rasa aman. 

Pada tahun 1963 di Jakarta lahir PITI atau perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia yang merupakan gabungan dari perkumpulan yaitu PIT atau persatuan Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Muslim PTM, berdasarkan Yap. A. Siong salah satu orang pendirinya pada tahun 60an itu sudah dibukanya kesempatan bagi WNI keturunan untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia, banyak anggota PITI yang menyatakan lantaran sudah berganti nama Indonesia, lantaran itulah ditambah nama Indonesia di belakangnya ataupun dengan nama Indonesia asli. Pada jadinya pada tahun 1972 organisasi ini dibubarkan. Sebagai gantinya telah dibuat wadah gres yang sekalipun masih berjulukan PITI akan tetapi merupakan abreviasi dari sebuah nama yang gres yaitu Pembina Iman Tauhid Islam. 

Sejak kurun waktu 70an orang Indonesia di harapkan menganut salah satu agama berorganisasi dan di haruskan menyatakan agamanya di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Orang yang tidak beragama sering diperlakukan sebagai orang komunis yang akan membuat hidup sangat tidak Islam. 

Dapat dipahami bahwa banyak orang Tionghoa di Indonesia mulai mengidentikasikan diri dengan salah satu kelompok keagamaan yang ada teristimewa agama Budha, dan Kristen, akan tetapi sebelum tahun 70an sedikit sekali yang menjadi orang Islam, selain kondisi sosial politik yang tidak mendukung Islam dan prasangka yang ada terhadap agama Islam ini. 

Pada waktu itu ada beberapa orang Tionghoa yang mulai berani pindah agama Islam. Mereka bahkan memeluk Islam dengan keinginan mereka sendiri dan dipelori oleh almarhum Yap. A. Siong dan H. Abdul Karim Oie Tieng Hien seorang anggota Majlis Ulama dari Sumatera Barat. 

Organisasi tersebut sudah tentu sangat penting artinya bagi penyiaran agama Islam dikalangan masyarakat Tionghoa, meskipun begitu dakwah Islamiayah di kalangan masyarakat Tionghoa bukan suatu hal yang mudah, oleh lantaran dalam hal ini kita jumpai adanya banyak sekali macam faktor penghambat yang boleh dikatakan merupakan tembok-tembok tebal yang menghalangi orang-orang Tionghoa memeluk Islam, mirip halnya yang pernah dikatakan oleh H.Abdul Karim Oie Tieng Hien sebagai berikut : 

“…..ada daiantara orang Tionghoa yang masuk Islam, setelah mengucapkan syahadat terus ia pakai sarung, songkok dan supaya lebih dikenal lagi, menentukan songkok warna putih, dan tiap hari kamis dan jum’at tiba ke masjid membawa buntalan beras untuk minta sedekah. Demikian orang-orang Tionghoa memang sudah berprasangka pada Islam makin menjauhi Islam….” 

1. Pendidikan 
Di Indonesia problem kelas-kelas sosial merupakan info yang sangat penting terutama dalam pergaulan sosial dan status seseorang di masyarakat. Status sosial di Indonesia yang mengalami modernisasi dan bertahan hampir dari seratus tahun ialah : status pendidikan. Setelah status dengan basis keturunan dan pemuka agama dianggap sudah ketinggalan jaman, pendidikan seakan terus tegar dan menerima tempat. Bahkan status kepemimpinan agama sekalipun tak afdol kalau tidak dikawinkan dengan gelar-gelar pendidikan mirip : Profesor Agama, Master Agama, atau Sarjana Agama. Gelar di Indonesia sudah merupakan produk spesifik yang mengarah pada Produk Konsumen. Jika beberapa waktu kemudian kita mendengar gelar kebangsawanan bisa dibeli, maka gelar pendidikan bukan saja problem jual beli tapi sudah merupakan industri yang mau tak mau menyeret komersialisasi sebagai bahasa komunikasinya. 

Jika komersialisasi dilakukan pihak swasta yang menerima lampu hijau dari Negara mungkin masih bisa dimaklumi walaupun saya katakan itu juga tidak bermoral, namun kalau itu dilakukan oleh pendidikan yang diselenggarakan Negara, didanai oleh pajak rakyat dan merupakan cuilan dari tanggung Jawab Negara maka Negara telah kehilangan kepercayaannya untuk melaksanakan salah satu poin penting alasan Negara Republik Indonesia berdiri “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. 

Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting, untuk kemajuan kecerdasan seseorang ataupun suatu bangsa. Pemerintah kolonial dalam menjalankan politik memakai cara pemisahan, demikian juga dengan pemisahan sekolah Cina. Dalam bidang pendidikan pada pemerintahan kolonial, golongan Cina peranakan masuk pendidikan sekolah Cina Belanda, dan sekolah golongan Cina totok masuk ke sekolah Cina. 

Setelah bangsa Indonesia merdeka, tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk membimbing murid-murid supaya menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung Jawab, sedangkan dasar pendidikan sesuai dengan dasar keadilan sosial, dan semua sekolah harus terbuka untuk setiap Warga Negara dan semua lapisan masyarakat. 

2. Kehidupan Sosial Ekonomi 
Seperti halya orang perantauan yang lainya, sudah barang tentu Etnis Cina mempunyai etos kerja dan mentalitas yang besar lengan berkuasa dalam menjalani kehidupan. Kebanyakan Etnis Cina berhasil dalam dunia usaha terutama dalam bidang perdagangan (Zein 2000 :67-68). 

Pada masa Orde Baru, meski secara ideologis dan politik Etnis Cina sanggup dikendalikan, namun dalam bidang ekonomi pemerintahan Orde Baru lambat untuk melaksanakan tranformasi ekonomi yang lebih distributif. Secara nyata sanggup dilihat bahwa Etnis Cina merupakan pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi yang sangat besar. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa mereka menentukan modal untuk membiayai proyek-proyek yang di terapakan oleh pemerintah sentra da pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Cirebon. Pemerintah Orde Baru dan Etnis Cina membangun kemitraan dalam banyak sekali usaha yang dimulai dari pengadaan pangan, kebutuhan rumah tangga, hingga teknologi canggih (Tarmizi taher, 1997 :25). 

Etnis Cina dikenal semenjak usang memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Alasan mereka merantau ke banyak sekali belahan dunia lantaran motif ekonomi. Pada ketika itu kaum imigran Cina tiba ke Indonesia, kehidupan penduduk pribumi masih tergantung pada hasil pertanian saja. Dalam struktur masyarakat feodal, Etnis Cina kemudian mengusai sektor perdagangan. Sifat rajin, ulet, ekonomis dan yang lainnya di dalam berdagang sehingga dalam contoh kehidupan mereka cenderung sepenuhnya kepada usaha ekonomi terutama dalam bidang perdagangan dan industri (Hidayat 197 :138). 

Pengerahan potensi tiap-tiap Suku bangsa maka haruslah melihat potensi yang ada pada mereka. Sebagian besar diantara mereka (Etnis Cina) khususnya di daerah Cirebon mempunyai potensi perdagangan. Kepandaian tersebut bermanfaat dalam sektor pembangunan ekonomi, sifat keuletan dalam berusaha menjadi sifat dasar Etnis Cina, ialah suatu sifat yang dinilai tinggi. Warga keturunan Etnis 

Cina mempunyai peranan-peranan untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Peranan tersebut harus dijalaninya supaya tercipta korelasi yang serasi antara Etnis Cina dan pribumi. Peranan dalam bidang sosial mereka sanggup berbaur dan diterima keberadaannya oleh warga pribumi, akan tetapi terkadang ada prasangka jelek dari kalangan pribumi, adanya kecemburuan sosial yang dikarenakan tingkat perekonomian Etnis Cina lebih tinggi di banding dengan masyarakat pribumi. Sedangkan Etnis Cina dianggap sebagi warga pendatang tetapi Etnis Cina lebih berhasil dalam bidang ekonomi dibanding masyarakat pribumi pada umumnya. Sedangkan pihak dari Etnis Cina dengan status sosialnya yang tinggi kalau dibandingkan dengan pribumi, membatasi pergaulanya dengan Etnis Cina. Hal ini sudah tentunya mengahambat usaha dari pembauran yang dialkuakan oleh pemerintah orde gres (Wibowo, 1999 :158).

Stereotipe sifat Etnis Cina yaitu rajin, ulet, ekonomis dan sanggup mendapatkan amanah di dalam berdagang yang berada di Cirebon, sebagian besar ialah kelompok Hokian atau Cina Baru. Usaha-usaha tersebut sanggup dijumpai dipusat-pusat perdagangan dan perbelanjaan di daerah Cirebon. Mereka bukan hanya mendominasi dalam bidang usaha besar saja namun juga menengah kecil usahanya memang sudah menjadi pembawaan mereka apapun itu agama dari mereka. Hokian merupakan Suku orisinil Cina yang banyak merantau ke wilayah Asia tenggara terutama Indonesia. Ketutrunan Hokian yang berada di wilayah Cirebon banyak ditemukan di setiap jalan -jalan di kota Cirebon. 

Sifat sanggup mendapatkan amanah itu, membuat eksitensi mereka dalam bidang perdagangan selalu berkembang pesat. Baik dari Etnis Cina Muslim maupun non Muslim selalu sukses dalam usaha yang digelutinya lantaran tetap mempertahankan sifat-sifat tersebut. Meskipun tidak sanggup dilihat dari keberhasilannya saja tetapi juga dalam usaha mereka dalam mewujudkan perekonomian Etnis Cina yang kuat. Dalam menjalankan usahanya semua sama, maksudnya mempumyai sifat dasar yang sama akan tetapi ada yang membedakan ialah cara bersyukur dalam mencapai kesuksesan. Etnis Cina Muslim mempunayi cara bersyukur sendiri kepada allah SWT atas semua yang telah diperolehnya (Wawancara dengan Yuceng 2 Desember 2008). 

Dalam menyebarkan usaha perdagangannya Etnis Cina berpegangan kepada tiga nilai yang dijadikan dasar atau pedoman Etnis Cina dalam menjalankan usahanya. Tiga nilai tersebut sebagai penentu prilaku bisnisnya yaitu : 
  1. Hopeng yaitu cara untuk menjaga korelasi yang baik dalam kekerabatan bisnis, bagi Etnis Cina, bisnislah hal yang seluruhnya rasional sehingga korelasi dengan kekerabatan sangat penting lantaran sebagian besar perusahaan Cina dalam mengepalai suatu kongsi atau perseroan ialah menggalang kerjasama dengan sesama anggota keluarga. Hopeng merupakan salah satu untuk mengurangi dagang yang sering kali bersifat sangat spekulatif. 
  2. Hongsui yaitu kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan buruknya manusia. Hongsui merupakan penunjukan bidang-bidang wilayah yang sesuai dengan keberuntungan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keberuntungan perdagangan. Prakteknya dari honsui intinya dalam sistem kultural bisa membuat perhitungan yang sangat hati-hati dalam perdagangan. Semua ramalan tentu saja boleh tidak dianggap rasional memang tidak pernah berakibat apa-apa terhadap usaha mereka. Namun ramalan itu penting untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan usaha dagang sehingga disinilah masyarakat Etnis Cina dituntut supaya lebih berhasil menyiasati ramalan-ramalan dan berusaha memahami aturan-aturan yang terdapat didalamnya. 
  3. Hokkie yaitu peruntungan nasib baik. Para pengusah Etnis Cina memegang suatu konsep pengelolaan resiko yang diatasi dengan melaksanakan suatu pengeloalaan. Nasib atau takdir melalui hongsui sehingga terlihat bahwa hokkie lebih merupakan sugesti semata lantaran dunia sangat menantang. 


Di daerah Gunung Sari yang merupakan gudang grosir banyak sekali macam kebutuhan keadaan tersebut tidak berubah hingga simpulan Orde Baru. Etnis Cina dikawasan ini tidak menguraikan membangun rumah yang glamor mungkin lantaran imbas dari Hongsui dan Hokkie. Faktor-faktor Hopeng sanggup dilihat dari usaha yang dijalankan mereka bertahan, turun temurun sehingga besar lengan berkuasa dan sanggup bertahan hingga sekarang. Etnis Cina masih juga memegang tiga nilai tersebut dalam kehidupan baik itu dalam kehidupan pribadinya maupun bisnisnya. 

Apabila harus membangun rumah, mereka masih mempertimbangkan dengan nilai Hongsui walaupun telah hidup dengan masyarakat beragama Islam yang tidak mengenal Hopeng, Honsui, dan Hokkie, akan tetapi Etnis Cina Muslim yang berada di daerah Cirebon tetap memegang tiga nilai tersebut. 

Secara umum mata pencaharian Etnis Cina Muslim ialah sebagai pedagang dan pengusaha. Walaupun telah beragama Islam, mereka mengakui bahwa anutan Tri Dharma telah menawarkan imbas yang sangat besar terhadap setiap aspek kehidupan Etnis Cina. Pengaruh dalam diri juga dan prilaku ekonomi mereka. Mereka juga masih berpedoman pada anutan Ngo Siang yang menekankan pada cerdas, dan waspada (tie) dan Pat Tik pengutamaan seseorang supaya sanggup mendapatkan amanah (sien), kedua anutan tersebut menawarkan imbas yang sangat besar bagi Etnis Cina Muslim yang berada di daerah Cirebon dalam menyebarkan usahanya. Sifat sanggup mendapatkan amanah membuat eksitensi mereka dalam bidang perdagangan selalu berkembang pesat. 

Prinsip-prinsip sikap ekonomi Etnis Cina di Indonesia memang berubah dari masa ke masa, tetapi secara umum prinsip sikap ekonomi Etnis Cina tergantung pada pemahaman mereka terhadap kebijakan dan situasi kondisi politik nasional perihal keberadaan Etnis Cina secara nasional. Perilaku ekonomi ini jadinya mengarah pada usaha yang sifatnya kondusif dan netral dalam arti tidak mengandung banyak resiko bagi keselamatan dan kesejahteraan diri. Bentuk nyata ekonomi Etnis Cina cenderung bergerak di bidang perdagangan (retail) dan keuangan, usaha-usaha yang sifatnya bukan usaha besar (karena usaha-usaha vital pengelolaannya dikuasai oleh Negara). 

Perilaku ekonomi yang cenderung proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri Etnis Cina di daerah Asia termasuk Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh persepsi Etnis Cina terhadap identifikasi diri Etnis Cina terhadap Negara yang didiami. Khusus di Indonesia, persepsi ekonomi Etnis Cina terbagi antara persepsi ekonomi dan politik Etnis Cina “totok” dan peranakan yang awal keduanya hadir sebagai Etnis Cina perantauan. 

Etnis Cina “totok” terutama yang kondisi status ekonominya berada di bawah, cenderung berperilaku ekonomi dinamis dan berorientasi dagang. Perilaku tersebut termotivasi oleh impian untuk hidup aman, makmur dan loyal terhadap adat, maupun kepatuhan terhadap keluarga, termasuk korelasi kerjasama Etnisitas sesama Etnis Cina. Sementara itu orang Cina peranakan cenderung lebih konservatif dalam berbisnis. 

Etnis Cina mengandalkan integritas suatu korelasi antar Etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluarga. Keseharian Etnis Cina, terutama yang belum atau tidak melaksanakan ijab kabul asimilasi dengan pihak pribumi, tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton. Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama dalam hal makanan. Karakteristik lain yang dimiliki Etnis Cina di Indonesia ialah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka bisa bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Prof. Wang Gung Wu, menegaskan bahwa sikap orang Cina mengarah pada kemakmuran (Wang dan Cushman, 1991:30). 

Perilaku bisnis mereka terbentuk oleh kebisaan berabad-abad. Ini menimbulkan mereka membuat administrasi yang khas, dimana saja meraka tinggal. Tetapi sementara itu mereka tidak akan kaku bilamana harus mengubah diri mereka sebagai mana mestinya keadaannya. 

Ciri yang konon terbentuk oleh kebisaan berabad-abad itu antra lain, terlihat pada perusahaan mereka yang lazimnya ialah perusahaan keluarga. Sedangkan kekayaan yang mereka himpun sebagian besar hanya beredar diantara anak dan keturunannya mereka sendiri. Ini menimbulkan orang luar sulit memanfaatkan kekayaan itu. 

Ciri yang lain, mereka membentuk usahanya tanpa tujuan membuat” merk”dagang ternama dan mereka lebih bahagia membeli pruduk dari Made in Hongkong ataupun Made in China. Itulah cara keluarga Cina melindungi dan menyelamatkan diri dari serangan orang luar. Membuat benteng keluarga dan menjauhi ketenaran. Mereka memang memutuskan dengan negeri leluhurnya, tetapi tidak berarti ke Cinaan kemudian dihilangkan. Disetiap tahun gres imlek, Cina perantauan dimana saja merayakannya dengan pertunjukan dan masakan yang berkonsep Islam, bukan hanya itu saja pertunjukan barongsaipun masih ada yang dimainkan para pesilat – pesilat Cina. Pusat perayaan itu sendiri biasanya dirayakan di sentra keramaian mirip yang berada di Cirebon Grage Super Mall. 

Ketidaksiapan warga pribumi mengisi kekosongan yang ditinggalkan Belanda, cepat dilirik oleh para pengusaha Cina. Meskipun masih ada beberapa perusahaan Belanda yang tersisa, namun sektor perdagangan skala menengah dan kecil banyak mulai dikuasai pengusaha Cina. Satu ialah Cina peranakan, yang banyak bergerak di sector bisnis sakala menengah, bisnis pinjaman uang, dan proses hasil-hasil agrikultur. Jenis yang lain ialah Cina totok, yang bisa dengan sukses melaksanakan penetrasi ke sektor industri manufaktur. 

Salah satu kesamaan karakteristik antara Etnis Cina di Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik ialah sama-sama lebih menyukai penyelesaian perbedaan melalui negoisasi, dibandingkan pemecahan konflik secara formal. Hal ini terlihat dari kentalnya jaringan kerja yang telah menjadi kebiasaan Etnis Cina, tentunya kondisi ini menjawab semua yang menjadi prilaku penting bagi ekonomi mereka. 

Sekalipun sementara orang korelasi itu sudah dianggap tidak menimbulakan permasalahan lagi, tetapi berdasarkan teori Ami Chua(2002) dalam analisis sosial ekonominya mengindikasikan kalau kekuatan ekonomi suatu masyarakat dipegang oleh Etnis minoritas, suatu ketika akan mengakibatkan kobaran api kerusuhan Etnis. Di karenakan perbedaan latar belakang sosial dan budayanya yang terlampau jauh dan mempunyai potensi mengakibatkan konflik. 

D. Interaksi Sosial antar Etnik 
Interaksi sosial sanggup dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling ditunjukan oleh dan diantara dua orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial antar etnik, maka tindakan itu sanggup dipandang terkait dengan identitas etnik sendiri (Suparlan, 1989:8).

Interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial. Interaksi mengacu pada korelasi antara individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Interaksi sanggup dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling ditujukan oleh dan diantara dua orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial antar etnik, maka tindakan-tindakan itu sanggup dipandang terkait dengan identitas etnik (Gilin, 1954:489). 

Usman Pelly (1989:1-9), mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan corak korelasi antar kelompok etnik masyarakat majemuk, yaitu: kekuasaan (power), persepsi (perception), dan tujuan (purpose). Kekuasaan merupakan faktor utama dalam menentukan situasi korelasi antar Etnis itu. Faktor lainnya ditentukan oleh faktor kelompok lebih banyak didominasi (dominan group) yang banyak menentukan aturan permainan dalam masyarakat beragam tersebut. 

Sejalan dengan konsep itu, Bruner (1969) yang mendasarkan penelitiannya pada masyarakat Indonesia mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan suatu kelompok Etnis itu berstatus dominan, yaitu: (1) faktor demografis, (2) politis, dan (3) budaya lokal (setempat). Dalam kaitannya ini, maka kelompok Etnis Jawa di Cirebon menduduki satus lebih banyak didominasi (unggul) terhadap kelompok Etnis lainnya, lantaran secara kombinasi kelompok ini mempunyai keunggulan dalam hal ketiga faktor diatas dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini juga terjadi pada Suku Sunda di Jawa Barat, Batak di Sumatera Utara, Bugis Makasar di Silawesi Selatan, dan di daerah lainnya. 

Kelompok Etnis ialah suatu populasi biologis bisa berkembang dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri kelompok, yang diterima oleh kelompok lain. (Barth dalam Habib 2004 : 19). 

Secara historis, orang Cina mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang lebih tinggi daripada orang pribumi atau orang Jawa. Hal ini disebabkan perlakuan pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Cina pada waktu itu. Semasa pemerintahan kolonial Belanda, Belanda membagi Masyarakat menjadi tiga golongan. Golongan pertama ditempati orang-orang Eropa sebagai kelas atas, Golongan kedua ditempati oleh warga abnormal Asia yaitu Cina, Arab dan India mereka disebut sebagai kelas menengah Middlemen sedangkan orang pribumi ditempatkan di golongan paling rendah Inlander. Saat itu orang Cina sebagai salah satu golongan Timur Asing mempunyai kedudukan ekonomi, status hukum, dan korelasi antar etnik yang lebih menguntungkan daripada pribumi. (Markamah 2000: 25 ).


*Dikutip dari skripsi Sdr. Basori yang berjudul Tionghoa Muslim di Cirebon

Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar