Minggu, 16 September 2018

Perkembangan Keraton Kasepuhan Dari Waktu Ke Waktu

Pada awal berdirinya, sekitar tahun 1452 Keraton Kasepuhan Cirebon hanyalah berisikan satu bangunan saja yakni bangunan Dalem Agung Pakungwati. Bangunan ini mempunyai struktur yang khas dengan bangunan bab bawah memakai susunan bata merah dengan ornament wadasan di setiap sisinya. Dan di bab tengah bangunan ialah sebuah kawasan terbuka tanpa dinding dengan pancang tiang kayu di tiap sisi dan bab tengahnya. Tiang-tiang ini mempunyai pondasi umpak berbentuk lesung tanpa ornamen dengan pangkal bab bawah tiang diberi gesekan dengan motif rucuk bung. Untuk atap sendiri, bangunan ini berbentuk atap bertipe malang sumirang dengan genteng sebagai media penutupnya. Konsep bangunan terbuka dengan tanpa dinding sama sekali baik sebagai penyekat maupun epilog di tiap sisinya menggambarkan bahwa insan ialah bab dari alam maka dari itu sudah semestinya menyatu dengan alam sekitar. Tanpa sekat dan tanpa tanpa rekat.

 Keraton Kasepuhan Cirebon hanyalah berisikan satu bangunan saja yakni bangunan Dalem Agun Perkembangan Keraton Kasepuhan dari Waktu ke Waktu

Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1500 M ditandai dengan dibangunnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan lalu disusul dengan bangunan lainnya yakni Siti Inggil, Museum Benda Kuno, Kuncung dan Kutagara Wadasan, Pungkuran, dan Pintu Buk Bacem. Bangunan-bangunan gres tersebut sangat khas dengan ornamen dan struktur bangunan yang mengadopsi dan akulturasi dari aneka macam kebudayaan di aneka macam kawasan yang antara lain hal itu sanggup dilihat dari ornamen yang menghiasi tembok bata merah dengan pasangan piring keramik dari China yang memagari kompleks Siti Inggil. Pada bab depan pintu masuk tersebut terdapat candi Bentar yang khas dengan budaya Hindu Majapahit. Struktur bangunannya sendiri berupa tumpukan bata merah yang saling digesekan antara satu dan lainnya. Di Siti Inggil berdiri lima buah bangunan tanpa dinding beratap sirap uang berderet memanjang dari barat ke timur. Bangunan-bangunan tersebut ialah Mande Pandawa Lima, Mande Malang Semirang atau Mande Jajar, Mande Semar Tinandu, Mande Karesman, Mande Pengiring.

Struktur dan motif yang terdapat pada Mande Pandawa Lima sendiri ialah sebuah bangunan yang bab bawahnya terdapat ornamen dengan motif gesekan mirip motif wadasan. Untuk sanggup diketahui, motif wadasan sendiri bergotong-royong ialah motif ukir yang berasal dari kebudayaan China yang lalu diadopsi menjadi motif lokal yang lazim terdapat di dalam aneka macam media mirip pada kain batik, lukisan beling dan sebagainya. Untuk bab tengah dari bangunan ini hanya berupa tiang yang berjumlah lima buah, melambangkan rukun Islam. Kemudian pada bab atas, berupa atap joglo yang terbuat dari materi sirap.

Untuk Mande Malang Semirang atau Mande Jajar sendiri tiang tengahnya yang (berukir) 6 buah melambangkan rukun iman, seluruhnya ada 20 tiang, ini melambangkan sifat 20 (sifat Ketuhanan). Berbeda dengan tiang-tiang kayu yang terdapat dalam dalem Agung Pakungwati, tiang-tiang yang terdapat dalam bangunan-bangunan yang ditambahkan di fase kedua perkembangan Keraton Kasepuhan ini mempunyai banyak ornamen, baik pada bab umpaknya (berbentuk lesung dengan gesekan tanaman berupa motif kangkungan dan motif keliangan yang berasal dari ragam hias Pasundan) maupun pada tiang bab atasnya.

Untuk Mande Semar Tinandu, ciri-ciri yang menonjol dari bangunan ini ialah bab bawah dari bangunan ini terbuat dari bata merah khas kebudayaan Hindu Majapahit dengan ornamen mirip motif wadasan. Untuk bab tengah, bangunan ini tetap mirip bangunan-bangunan sebelumnya yaitu dibiarkan terbuka dengan dua buah tiang sebagai pancangnya. Dua tiang ini sendiri ialah melambangkan dua kalimat syahadat dengan atap yang bergaya joglo dengan sirap sebagai penutupnya.

Pada Mande Karesman, pada bab bawah bangunan ini tersusun dari materi bata merah dengan ornamen bergaya motif wadasan dengan bab tengah terdapat delapan tiang dengan pondasi umpak tanpa ornamen yang berjumlah delapan buah. Dan yang terakhir Mande pengiring ialah bab bawah bangunan yang terbuat dari susunan bata merah dengan ornamen mirip motif wadasan. Sedangkan bab tengah hanya berupa tiang yang berjumlah delapan buah dan bab atas berupa atap bertumpuk bertipe malang semirang yang terbuat dari materi sirap.

Kemudian ialah bangunan Museum Benda Kuno yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari bangunan-bangunan lainnya yaitu pada bangunan ini sudah memakai tembok bata hingga ke atas bangunannya dengan ornamen yang lebih sederhana. Pintu buk bacem dibingkai oleh gapura yang tampak mirip mengadopsi kebudayaan Gujarat yaitu berupa lekungan (vault), namun juga terdapat piring / cawan yang ditempelkan sebagai ornamen, ,dimana piring / cawan tersebut ialah berasal dari kebudayaan Cina. Bangunan pungkuran ini juga terlihat sebagai hasil akulturasi dari dua kebudayaan yang berbeda. Dimana pendopo dengan atap limasan mempunyai tiang kolom bergaya Eropa.

Pada tahun 1529 terjadi pembangunan tahap ketiga yang ditambahkan dalam komplek keraton yaitu antara lain dengan dibangunnya Bale Kambang, Dalem Arum Kedalem, Bangsal Agung, Bangunan Kaputren beserta Paseban Kaputren, Bangsal Pringgadani, dan Jinem Pangrawit, serta Taman Bunderan Dewandaru.

Pada tahun 1678, terjadi lagi pertambahan bangunan tahap empat dengan ditandainya pelengkap bangunan berupa jinem pangrawit. Jinem Pangrawit ialah berupa pendopo yang merupakan bangunan tradisional Jawa namun mempunyai elemen kolom yang merupakan hasil akulturasi dari kebudayaan Eropa. Tahap keempat perkembangan Keraton Kasepuhan, pada tahun 1678 terdapat penambahan berupa jinem pangrawit.

Pada tahun 1682, perkembangan tahap kelima, terdapat penambahan berupa bangsal prabayaksa. Bangsal prabayaksa mempunyai ornamen dinding berupa keramik dari Eropa yang semenjak pemasangannya hingga ketika ini belum pernah mengalami perbaikan. Setiap keramik tersebut menggambarkan/ menceritakan kisah-kisah yang terdapat didalam Injil. Keramik-keramik tersebut membingkai relief bergambar bunga lotus dan burung abang tua, dimana relief tersebut berasal dari kebudayaan Budha. Pada tahun 1845, perkembangan tahap keenam, terdapat penambahan berupa Gajah Nguling yang merupakan jejak aktual dari imbas budaya Eropa terhadap keraton Kasepuhan.

Keenam fase perkembangan Keraton Kasepuhan ini merupakan fase di mana saat-saat terpenting dari Keraton Kasepuhan itu sendiri selaku salah satu kerajaan Islam penting di Pulau Jawa sehabis habisnya kala Majapahit dan Kerajan Padjajaran.

Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar