Minggu, 16 September 2018

Dari Per Aspera Ad Astra Ke Cirebon Baru*

Oleh: Dhanang Respati Puguh

1. Manggala Wacana
Cirebon telah semenjak usang dikenal sebagai kota pantai dan kota pelabuhan. Pada dikala berkunjung ke Cirebon pada 1513 Tome Pires menyaksikan bahwa di Cirebon terdapat pelabuhan yang bagus dan ramai dengan kegiatan perdagangan. Pedagang-pedagang Islam menduduki posisi sentral dalam bidang ekonomi dan politik di Cirebon (Kern dan Djajadiningrat, 1973: 14-15). Penguasaan Mataram atas Cirebon pada kurun XVII telah membuat pergeseran orientasi politik dan ekonomi kerajaan Cirebon. Kesibukan dalam urusan politik dengan kerajaan pedalaman telah membuka kesempatan bagi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) untuk mulai menancapkan dominasinya atas perdagangan di pelabuhan Cirebon. Setelah perjanjian 7 Januari 1681 antara kerajaan Cirebon dan VOC, keraton Cirebon semakin jauh dari kehidupan kelautan dan perdagangan, lantaran VOC memegang hak monopoli atas beberapa jenis komoditas perdagangan dan pelabuhan (Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931: 7). VOC membuatkan infrastruktur di sekitar pelabuhan, sehingga daerah ini muncul sebagai pusat bisnis gres dan keraton semakin jauh dari acara ekonomi perdagangan. Di bawah VOC pusat kota bergeser dari keraton ke pelabuhan dan gambaran Cirebon sebagai kota pelabuhan semakin menguat. Sumber Belanda menyebutkan bahwa pada 1700-an Cirebon usang digambarkan sebagai kota pedalaman (inlandsche stad) dan kota yang dilecehkan (het geminachte strandnest) (Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919: 407).

Setelah kebangkrutan VOC pada 1799, kekuasaan politik kerajaan Cirebon terhadap hinterland dan kota Cirebon diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Peranan pelabuhan dan kota Cirebon sebagai transit barang ekspor-impor dan pusat pengendalian politis daerah di pedalaman semakin penting. Setelah ditetapkan sebagai pelabuhan ekspor-impor pada 1859, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan pembenahan dan pembangunan banyak sekali akomodasi sosial (Sulistiyono, 1994: 143-146). Secara politis, kepentingan-kepentingan Belanda di kota Cirebon juga dijamin dengan dijadikannya kota Cirebon sebagai gemeente pada 1906, yang oleh lantaran perkembangnnya yang pesat pada 1926 kemudian ditingkatkan statusnya menjadi stadgemeente (Milone, 1966: 20 dan 109) dengan otonomi yang semakin luas untuk mengatur pengembangan kota. Semboyan "per aspera ad astra" (Sampul Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931 dan Wapen van de Gemeente Cheribon, ANRI. KIT. 994/30), yang berarti dari duri onak dan lumpur menuju bintang, dalam lambang Gemeente Cirebon menjadi simbol kemajuan kota ini di bawah gemeente dan hal itu sekaligus membentuk identitas dan gambaran Cirebon sebagai kota kolonial.

Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Kotapraja Cirebon memproduksi simbolsimbol dan identitas kota yang gres dan berbeda dari simbol dan identitas Gemeente Cirebon, yang bertujuan untuk mengubah gambaran kota Cirebon yang telah terbentuk pada masa kolonial Belanda. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perubahan gambaran kota Cirebon selama periode 1930-1950-an. Pembahasan difokuskan pada dua masalah utama yaitu wajah dan gambaran kota Cirebon pada masa gemeente dan pembentukan identitas dan gambaran gres kota Cirebon pada awal kemerdekaan Indonesia.

2. "Per Aspera Ad Astra": Wajah Kota Cirebon pada Masa Gemeente
Pada awal kurun XIX Cirebon merupakan kota yang jorok dan dilecehkan (Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919: 407). Sampai dengan awal kurun XX gambaran ini belum berubah. Keadaan Cirebon tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur dan comberan, serta tidak memiliki jalan masuk pembuangan air limbah rumah tangga. Akibatnya, setiap tahun ketika ekspresi dominan hujan Cirebon selalu terkena banjir dengan ketinggian mencapai sekitar satu meter di dalam rumah.

Kelancaran pemikiran air sungai sangat tergantung pada pasang-surut air laut. Ketika bahari pasang, sampah dan kotoran yang telah terendam air bahari masuk ke dalam sungai dan kemudian menjadi tumpukan yang tebal di muara sungai. Tumpukan kotoran yang telah terendam air asin ini menaburkan aroma yang tidak sedap. Penduduk menyebut sungai yang mengalir di dalam kota dan mengakibatkan busuk tidak sedap yang menyengat itu dengan nama "Kali Bacin". Lingkungan di sekitar pantai gersang dan udara terasa lebih panas, sehingga di kalangan masyarakat Cirebon berlaku ungkapan "barang siapa akan menetap di Cirebon, haruslah berkenalan dahulu dengan 'penyakit' panasnya. Jika sudah tertimpa, barulah ia diakui sah sebagai penduduk Cirebon" (Dahlan, 1956: 67).

Gemeente Cirebon membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mengubah kondisi dan gambaran kota Cirebon itu. Gemeente Cirebon dengan semboyan "per aspera ad astra" yang tertera di dalam lambangnya memperlihatkan petunjuk arah kebijakan pembangunan kota Cirebon pada masa awal kurun XX. Semboyan itu mengandung sebuah semangat untuk membangun kota dalam mencapai kemakmuran. Sudjana (1996: 192, dan wawancara pada 30 Januari 2005) mengartikan "per aspera ad astra" sebagai "dari duri onak dan rawa-rawa menuju bintang".

Berdasarkan informasi Sudjana itu, bintang merupakan simbol harapan tertinggi yang hendak dicapai. Gemeente Cirebon bermaksud untuk mengubah keadaan kota yang semula dipenuhi semak berduri dan rawa-rawa, baik dalam pengertian harfiah maupun sebagai metafora Cirebon yang bodoh dan belum berkembang, menuju sebuah keadaan mirip bintang, suatu titik cahaya tempat orang mengarahkan pandangan kepadanya. Apabila hal ini dikaitkan dengan unsur pembentuk lambang gemeente ihwal bahari yang divisualisasikan melalui gambar jangkar dan ombak besar bergulung, sanggup ditafsirkan ihwal kedudukan dan peranan penting bahari Cirebon dalam perdagangan yang dijadikan arah pengembangan kota Cirebon sebagai kota pelabuhan yang berorientasi internasional di bawah pemerintah kolonial Belanda (Lihat Wapen van de Gemeente Cheribon, ANRI. KIT. 994/90).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Gemeente Cirebon yaitu memperbaiki dan membangun prasarana yang sanggup mengubah kondisi fisik dan gambaran kota Cirebon. Jenis-jenis prasarana sosial yang dibangun meliputi pengadaan prasarana air bersih, prasarana kesehatan, dan penerangan jalan. Kesulitan air higienis merupakan masalah yang dihadapi oleh kota Cirebon semenjak kurun XIX.

Keadaan ini sangat menyulitkan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan perusahaan-perusahaan yang berkedudukan di pelabuhan. Oleh lantaran itu, pemerintah kolonial Belanda membangun akomodasi untuk penyediaan air higienis melalui pembuatan jalan masuk dan sumur artetis. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan air higienis yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan kepentingan pelabuhan, pada 1930 Gemeenteraad Cirebon membangun sebuah proyek air higienis yang diambil dari sumber air Cipanis ("Watervoziening" 74-78). Program yang lain yaitu membuat kebersihan kota. Upaya-upaya untuk membuat kebersihan kota dilakukan oleh Gemeente Cirebon secara simultan melalui pembuatan jalan masuk air, penghilangan genangan air limbah dan hujan, pembuangan sampah dan kotoran, dan pembuatan kakus dan pemandian umum. Kegiatan-kegiatan itu juga berkaitan dengan upaya Gemeente Cirebon dalam pemberantasan penyakit malaria ("Malaria Bestrijding": 93). Kali Bacin yang dianggap sebagai salah satu sumber penyakit akhir busuk tidak sedap yang menyengat dan membuat lingkungan menjadi kumuh ditutup pada 1917. Penutupan dilakukan melalui pengurugan dan area bekas Kali Bacin bermetamorfosis jalan, gedung, dan pabrik rokok British-American-Tobacco-Comp (Dahlan, 1956: 68). Untuk mendukung jadwal di bidang kesehatan masyarakat, Gemeente Cirebon mendirikan Rumah Sakit Oranje, yang diresmikan penggunaannya pada 31 Agustus 1921 dan mulai beroperasi pada 1 September 1921 ("Gemeentelijk Ziekenhuis Oranje": 119-121).

Dalam kaitan dengan usaha untuk memperindah kota, Gemeente Cirebon melengkapi jalanjalan dengan lampu-lampu penerangan yang mulai dilakukan pada tahun 1915. Konsesi usaha ini diberikan kepada NV Maatschappij tot Exploitatie van Lichtfabrieken yang pada 1924 digantikan oleh Nederlandsch Indie Gas-Mij. Jalan-jalan yang diberi penerangan yaitu jalan-jalan umum yang menjadi tanggung jawab Gemeente Cirebon ("Straatverlichting": 105). Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, pada 1925 sanggup disebut sebagai awal pertumbuhan kota Cirebon, lantaran pada dikala itu upaya-upaya gemeente untuk menuntaskan banyak sekali permasalahan kota Cirebon mulai memperlihatkan hasilnya. Banjir sudah mulai berkurang, lantaran di tempat-tempat yang rawan banjir, contohnya Cirebon Selatan telah dipasang pompa.

Demikian halnya dengan limbah rumah tangga dan genangan air hujan telah dialirkan melalui parit-parit bawah tanah. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut kota Cirebon terlihat lebih higienis dan indah. Selain itu juga dilakukan pembangunan jalan-jalan baru, perbaikan dan pengaspalan jalan, dan pembangunan trotoar yang diberi aneka tumbuhan peneduh (Dahlan, 1956: 68). Sampai dengan 1930 gemeente Cirebon telah berhasil mewujudkan semboyan "per aspera ad astra". Keberhasilan itu tampak dari keadaan kota Cirebon yang menjadi lebih teratur, bersih, dan indah, serta keterpenuhan kebutuhan dasar penduduknya mirip air bersih, perumahan, dan sarana kesehatan. Itulah gambaran yang berhasil dibangun oleh gemeente Cirebon atas kota Cirebon.

Prestasi ini diakui pula oleh sebagian warga kota Cirebon. Mereka beropini bahwa gemeente Cirebon memperhatikan kemajuan. Gemeente Ziekenhuis Oranje dan Raadhuis menjadi pujian warga kota Cirebon (lihat koleksi ANRI. KIT. 184/38 dan 357/43), lantaran merupakan bangunan-bangunan yang dianggap paling megah dan indah di Jawa Barat (Kepentingan Ra'jat, 8 Pebruari 1933). Di balik pujian dan ratifikasi warga kota terhadap prestasi Gemeente Cirebon, terdapat pencitraan yang lain atas kota Cirebon. Jalan-jalan di kota Cirebon secara umum belum dilengkapi dengan penerangan yang cukup dan jalur kemudian lintas belum ditata dengan baik, sehingga sering terjadi kecelakaan. Selain itu, berdasarkan penuturan seorang pelancong, jalan-jalan di kota Cirebon juga masih banyak yang "diserang penyakit cacar", legok-legok tergenang air. Kondisi ini tidak memberi kenikmatan bagi pengendara kendaraan, terutama sepeda motor (Koemandang Masjarakat, 25 Mei 1940). Kondisi jalan yang demikian telah menjadi perhatian dari kalangan pers. Namun demikian, Gemeente Cirebon belum memperlihatkan balasan atas kritik itu (Poesaka Tjirebon, 26 Djanuari 1939).

Berdasarkan realitas itu, Abid, seorang warga kota Cirebon, menyampaikan bahwa gemeente telah berhasil mengubah wajah kota ini menjadi semarak, terutama di ekspresi dominan kemarau. Namun kalau ekspresi dominan hujan, wajah kota Cirebon segera berubah mirip samudra. Ia menggambarkannya dengan ungkapan "dari ketiga kaya negara ari rendheng kaya segara", yang artinya dikala kemarau laksana negara, dikala penghujan mirip samudra (Kepentingan Ra'jat, 8 Pebruari 1933). Wajah kota yang kotor menjadi satu permasalahan yang belum sanggup diatasi sepenuhnya oleh Gemeente Cirebon.

Selain itu, pencurian, pencopetan, penipuan, dan pemerasan serta prostitusi merupakan fenomena patologi sosial yang sering dijumpai dalam realitas perkotaan Cirebon. Pencurian tidak hanya dilakukan terhadap rumah-rumah Tionghoa, tetapi juga terhadap rumah penduduk bumiputera dan kantor-kantor pemerintah (Koemandang Masjarakat, 6 dan 15 Juli 1939; Poesaka Tjirebon, 8 Desember 1938). Pencopetan merupakan bentuk kriminalitas yang frekuensinya selalu meningkat pada setiap bulan ampunan (Poesaka Tjirebon, 17 November 1938). Kasus-kasus penipuan biasanya berupa penggelapan dan penggandaan uang (Kepentingan Ra'jat, 17 Pebruari 1933). Kasus-kasus pemerasan biasanya terjadi di pelabuhan, perkebunan, pabrik, dan tanah-tanah sewaan (Koemandang Masjarakat, 6 Juli 1939). Sementara itu, pelacuran merupakan salah satu jenis "kekotoran" kota yang meresahkan masyarakat Cirebon. Para pelacur berkeliaran di sejumlah tempat di kota Cirebon (Kepentingan Ra'jat, 8 Maret 1933). Walaupun beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi kriminalitas dan membatasi ekspansi prostisusi, namun hal itu sepertinya belum efektif untuk mengatasi masalah-masalah patologi sosial di kota Cirebon.

Terjadinya kriminalitas dan prostitusi merupakan bukti bahwa Gemeente Cirebon belum berhasil meningkatkan kesejahteraan warga kota Cirebon (Koemandang Masjarakat, 6 dan 22 Juli 1939). Pencitraan lain terhadap kota Cirebon itu muncul lantaran dalam perkembangannya Gemeente Cirebon tidak secara konsisten menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah berhasil mengubah kondisi dan gambaran kota Cirebon. Sejak 1930-an hingga simpulan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, tidak banyak dijumpai jadwal penataan kota secara fisik, yang antara lain disebabkan oleh krisis malaise yang sedang melanda Hindia Belanda. Selain mengakibatkan Gemeente Cirebon tidak bisa menjalankan jadwal pembangunan, krisis juga telah mengakibatkan rakyat berada dalam posisi yang terpuruk. Dalam keadaan ini, kebutuhan fundamental yang dianggap penting dan mendesak oleh rakyat yaitu yang berkaitan secara pribadi dengan usaha mempertahankan kelangsungan hidup. Kemajuan yang dicapai Gemeente Cirebon seperti menjadi tidak berarti. Rakyat mencicipi kebijakan Gemeente Cirebon sebagai beban dan pengabaian hak-hak rakyat. Pada akhirnya, gambaran Cirebon ditentukan oleh siapa yang berkepentingan membangun gambaran itu, yang pijakannya sanggup ditemukan pada insiden yang dianggap sangat berarti bagi kehidupan pihak yang membangun gambaran tersebut.

3. "Cirebon Baru": Pembentukan Identitas dan Citra Baru (1946-1950-an)
Gambaran keadaan Cirebon pada masa simpulan kekuasaan kolonial Belanda dengan lingkungan yang kumuh sebagaimana dipaparkan di atas merupakan potongan yang belum sama sekali hilang dari realitas Cirebon pada masa awal kemerdekaan. Jepang, dalam masa pendudukannya yang relatif pendek dan lebih mementingkan pertahanan perang, tidak sempat mengubah wajah Cirebon yang kumuh selain dengan membangun lapangan terbang Jatiwangi (Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirebon, 1956: 58). Namun eksistensi lapangan terbang tersebut, yang umumnya dipandang sebagai simbol kemajuan dan keberhasilan sebuah kota, tidak menutup kenyataan bahwa kota dan warga kota Cirebon sebenarnya belum beranjak cukup jauh dari gambaran keadaan yang muncul pada masa kolonial Belanda.

Lukisan ihwal keadaan umum kota Cirebon yang jauh dari kesan higienis sanggup dijumpai dalam sebuah goresan pena yang disusun oleh O.K. Yaman. la menyampaikan bahwa "pemandangan" kota Cirebon didominasi oleh kantor-kantor pemerintah dan swasta, rumah-rumah penginapan, tokotoko, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah tinggal di sepanjang tepi jalan utama yang tidak terpelihara. Kesadaran warga kota Cirebon terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan yang rendah tercermin dari keadaan pekarangan rumah yang kotor akhir kebiasaan membuang sungkrah yang sembrono. Di sepanjang jalan-jalan utama di kota Cirebon gampang ditemukan para pedagang berjualan tidak pada tempat yang ditentukan. Mereka membangun tanpa izin kedai-kedai di atas tanah yang sebenamya bukan untuk lokasi berjualan. Berbagai jenis masakan yang dijual di kedai-kedai dan rumah-rumah makan disajikan tanpa memperhatikan kebersihan.

Kesemrawutan kota Cirebon juga tampak dari pemasangan reklame tanpa izin dan di sembarang tempat di jalan-jalan utama (Repoeblik, 22 Djanuari 1947). Menurut Yaman, semua itu merupakan akhir dari pemahaman ihwal kemerdekaan yang keliru. Merdeka dimaknai sebatas sebagai kesempatan untuk bertindak sekehendak hati. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kotapraja Cirebon untuk menata dan membuat keindahan kota, mendorong kegiatan perekonomian, dan meningkatkan kesehatan penduduk belum dipahami dengan baik. Sebaliknya, mereka justru melaksanakan pelanggaran terhadapnya dengan alasan bahwa aturan-aturan itu lebih banyak mendatangkan kesulitan bagi warga kota Cirebon. Bagi Yaman, keadaan dan perilaku warga kota Cirebon yang semacam itu memperlihatkan bahwa mereka belum memiliki kesadaran sebagai bangsa yang telah merdeka (Repoeblik, 22 Djanuari 1947).

Oleh lantaran itu, suatu yang dianggap mendesak untuk dilakukan dalam membentuk identitas Cirebon pascakolonial yaitu menghilangkan kekumuhan lingkungan kota yang dikatakannya sebagai "sisa Belanda dan restan Jepang" dan sekaligus membangkitkan kesadaran warga kota Cirebon sebagai insan baru, yakni insan yang memiliki kesadaran penuh terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang telah merdeka (Repoeblik, 23 Djanuari 1947). Kemerdekaan yang telah diperjuangkan menghendaki kesempurnaan negara dan warganya dalam segala aspek kehidupan. Sebagai bangsa yang merdeka, warga kota Cirebon harus mengenal kesehatan, kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan, kecerdasan, keluhuran budi, dan kemajuan dalam segala bidang. Yaman mengonsepsikan kota dan warga kota Cirebon sehabis kemerdekaan dengan menyebutnya sebagai "Cirebon Baru" (Repoeblik, 22 Djanuari 1947).

Dengan berkaca pada kebijakan pemerintah kolonial terhadap kota Jakarta dan Bandung, maka untuk mewujudkan "Cirebon Baru" harus dimulai dengan usaha "memperindah" kota Cirebon. Secara empiris keindahan kota ditunjukkan oleh kemunculan bangunan baru, contohnya monumen yang sanggup mempercantik lingkungan, dan penataan nama jalan dengan memakai nama-nama yang familiar dan sesuai dengan semangat zaman. "Memperindah" kota juga sanggup dipahami secara simbolis sebagai usaha untuk memperbaharui jiwa dan hidup warganya (Repoeblik, 25 Januari 1947).

Setahun sehabis proklamasi kemerdekaan Indonesia, di kota Cirebon didirikan sebuah monumen berbentuk tugu di perempatan Jalan Kejaksan untuk memperingati insiden itu. Oleh lantaran tugu itu dibangun untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, orang Cirebon menyebutnya sebagai Tugu Proklamasi. Warga kota Cirebon juga biasa menyebutnya sebagai Tugu Kejaksan, lantaran tugu tersebut terletak di perempatan Jalan Kejaksan (Wawancara dengan Muhammad Hadun Sanusi, 29 Januari 2005). Tugu Proklamasi bukan sekedar sebuah tonggak hampa makna, tetapi merupakan artikulasi dari kelompok tentara, pejuang, dan tentara pelajar serta pimpinan pemerintahan yang didukung banyak sekali pihak, yang menyatakan dan memperoleh ratifikasi telah berperan penting dalam kemerdekaan dan kemudian memegang kendali atas usaha untuk membentuk dan menjaga ingatan kolektif masyarakat terhadapnya.

Menurut Heynen (1999: 375), monumen merupakan produk interpretasi sejarah dan identitas kultural dari kelas yang mayoritas yang layak dan bahkan harus diketahui oleh publik. Oleh lantaran itu, sanggup dipahami mengapa tugu itu didirikan di perempatan Jalan Kejaksan yang merupakan jalan utama di Cirebon. Pemilihan perempatan sebagai ruang untuk mengumumkan gagasan itu tentu bukan tanpa alasan. Ruang bukan hanya dipahami sebagai sesuatu yang boleh dipakai secara bebas, melainkan lebih dilihat sebagai komoditas yang karakternya harus dicari dalam hubungan antara pemanfaatan ruang dan latar kultural masyarakatnya.

Implikasinya, pemanfaatan sebuah ruang tidak hanya berkaitan dengan masalah apakah pengembangan yang berlangsung di situ dilakukan dengan tujuan yang sepenuhnya disadari, melainkan berkaitan pula dengan penggunaan ruang itu dalam cara yang berbeda atau bahkan berada di luar bentuk asalnya (Andreoli, 1996: 287-288). Sesuai dengan sistem pembagian terstruktur mengenai simbolik mancapat, perempatan merupakan titik tengah atau pusat yang mempertemukan jalan-jalan lainnya dari empat arah mata angin. Dalam sistem pembagian terstruktur mengenai ini pusat dihubungkan dengan persepsi ihwal kemantapan dan keselarasan (Koentjaraningrat, 1984: 431). Orang-orang dari banyak sekali tempat dengan bermacam kepentingan dan latar belakang bertemu di titik pusat. Saat tiba mereka bisa menjadi siapa saja atau bukan menjadi siapa pun, tetapi di pusat kedirian mereka terlebur. Mereka menemukan dirinya sebagai seseorang yang "baru" di dalam Tugu Proklamasi, sebagai potongan dari "seluruh kekuatan yang ada di Cirebon" yang telah tersentuh dan terliputi "semangat nasionalisme". Dengan begitu, perempatan jalan memainkan dua tugas yang berbeda dalam dikala yang bersamaan. Di satu sisi perempatan merupakan zona bebas yang boleh dimasuki oleh siapa saja. Namun di sisi lain, dalam waktu yang bersamaan, ia segera mengikat mereka dengan menusukkan suatu kekuatan yang memancar dari titik pusat ke dalam ingatan kolektif warga masyarakat yang berada di keempat penjuru mata angin melalui sebuah peringatan bahwa Indonesia sudah merdeka. Pada titik inilah tugu peringatan itu sanggup dilihat sebagai reaktualisasi pengalaman kolektif (Kartodirdjo, 1993: 57) masyarakat Cirebon yang dijadikan landasan pembentukan identitas kota Cirebon pascakolonial.

Pemanfaatan ruang untuk pembentukan identitas kota Cirebon pascakolonial juga tampak dalam penamaan jalan. Pada awal kemerdekaan (sekitar tahun 1946) di kota Cirebon muncul nama Jalan Merdeka yang menggantikan Jalan Kali Bacin, dan setahun kemudian muncul nama jalan yang memakai nama tokoh jagoan lokal, yaitu Jalan Kusnan dan Jalan Suratno di Kebon Baru (Wawancara dengan Muhammad Hadun Sanusi, 29 Januari 2005 dan dengan T. D. Sudjana, 30 Januari 2005). Sejak 1917 Kali Bacin yang semula merupakan salah satu sumber kekumuhan lingkungan menjadi salah satu daerah penting di kota Cirebon sehabis area kali tersebut diurug dan dilengkapi dengan jalan, gedung-gedung, dan pabrik. Sementara Kebon Baru merupakan kompleks pemukiman orang-orang Belanda di kota Cirebon. Dengan demikian, Kali Bacin dan Kebon Baru merupakan sebagian dari simbol eksistensi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di kota Cirebon. Oleh lantaran itu, bisa dipahami kalau pembentukan simbol keindonesiaan di kota Cirebon diarahkan ke tempat-tempat yang di dalamnya memuat simbol kolonialisme dengan mengganti nama Jalan Kali Bacin menjadi Jalan Merdeka dan memberi nama jalan di Kebon Baru yang merupakan bekas pemukiman orang-orang Belanda dengan memakai nama tokoh-tokoh lokal yang berperan dalam usaha kemerdekaan, yaitu Kusnan dan Suratno.

Menurut Sanusi, penamaan jalan-jalan di kota Cirebon dilakukan dengan "mengacu ke Jakarta" (Wawancara dengan Muhammad Hadun Sanusi, 29 Januari 2005). Menurut Heine-Geldern (1972), ibukota negara selain merupakan pusat kegiatan politik juga menjadi pusat kebudayaan dan pusat magis dari seluruh wilayah negara itu. Jarak suatu tempat atau daerah dengan ibukota negara pertanda tingkat keberadaban penduduk di daerah tersebut. Sejalan dengan pandangan ini, pengabadian insiden proklamasi dan hal-hal lain baik menyangkut orang maupun insiden yang berafiliasi dengannya merupakan usaha untuk menjadikan insiden itu sebagai potongan dari "pengalaman dekat" suatu komunitas (Geertz, 1992). Peristiwa itu sanggup disaksikan dan hadir dalam kehidupan warga kota Cirebon melalui Jalan Merdeka, Jalan Kusnan, dan Jalan Suratno yang selalu mereka lewati. Jalan-jalan tersebut membuat insiden proklamasi di Jakarta, yang secara spasial berada di luar Cirebon, hadir dalam kehidupan sehari-hari warga kota Cirebon dan jarak spasial menjadi tidak berarti. Dengan cara itu warga kota Cirebon mengasosikan dirinya dengan, dan membayangkan dirinya menjadi potongan dari, komunitas Indonesia (Anderson, 2001).

Dari uraian ihwal pembangunan Tugu Proklamasi dan penamaan jalan telah ditunjukkan bahwa keduanya merupakan simbol identitas kota Cirebon pascakolonial. Makna simbol-simbol tersebut mengacu kepada proklamasi kemerdekaan dan dengan demikian Tugu Proklamasi dan jalan yang diberi nama jagoan merupakan simbol keindonesiaan. Melalui simbol itu warga kota Cirebon menyatakan dirinya sebagai insan baru, yakni insan yang memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang telah merdeka, yang dikonsepsikan sebagai "Cirebon Baru".

"Cirebon Baru" meliputi pembangunan jiwa dan hidup gres yang dilakukan melalui penataan fisik kota untuk menghilangkan kekumuhan lingkungan kota dan penataan perilaku dan mental masyarakat. Konsepsi tersebut telah diimplementasikan oleh pemerintah Kotapraja Cirebon melalui jadwal pembangunan baik dalam bentuk penataan fisik kota, penyediaan sarana dan prasarana yang diharapkan warga kota, maupun pengembangan perilaku dan mental untuk membedakan warga kota Cirebon pascakolonial dari masa sebelumnya. Pemerintah juga membangun banyak sekali akomodasi untuk menyelenggarakan layanan publik dalam bidang kesehatan masyarakat, pendidikan, kesejahteraan sosial kaum miskin, kebersihan dan kesehatan lingkungan (Buku Peringatan 50 Tahun Kota Besar Tjirebon, 1956).

4. Purna Wacana
Pada masa kolonial Belanda kota Cirebon dicitrakan sebagai kota kolonial, sehingga pembangunan kota ini lebih dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan orang-orang Belanda. Keberhasilan mengubah wajah kota Cirebon yang pada beberapa kurun kemudian digambarkan sebagai kota yang dilecehkan disimbolisasikan dalam lambang Gemeente Cirebon melalui semboyan "per aspera ad astra".

Namun demikian, semenjak 1930-an muncul pencitraan yang berbeda terhadap kota Cirebon yang lahir dari pengalaman keseharian warga bumiputera Cirebon. Dalam pandangan mereka, Cirebon di bawah gemeente merupakan sebuah kota yang tidak menyenangkan. Keadaan fisik kota yang jelek dan kenyataan bahwa penduduk bumiputera tidak sanggup menikmati akomodasi kota sebagaimana halnya orang-orang Belanda menjadi dasar pembentukan gambaran ihwal kegagalan gemeente dalam membangun kota Cirebon. Kritik terhadap Gemeente Cirebon yang dianggap mengabaikan hak-hak rakyat, lantaran tidak bisa membangun kota dan menyediakan akomodasi bagi warga kota sebagaimana yang diharapkan penduduk bumiputera, menjadi landasan untuk membuatkan simbol kota pada masa kemerdekaan. Simbol kota Cirebon mengacu pada proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Melalui simbol itu warga kota Cirebon menyatakan dan mencitrakan dirinya sebagai insan baru, yakni insan yang memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang telah merdeka. Hal itu dikonsepsikan sebagai "Cirebon Baru" yang bertujuan untuk membawa Cirebon pada tempat yang terhormat di mata Republik Indonesia. "Cirebon Baru" diwujudkan dengan membangun gambaran Cirebon sebagai kota republikein. Simbolisasi kota republikein dilakukan oleh pihak-pihak yang berperan penting pada masa revolusi, yang kemudian menjadi kelompok dominan, dengan mendayagunakan ruang publik. Pendirian Tugu Proklamasi di perempatan jalan sebagai simbol keindonesiaan dan penamaan jalanjalan di kota Cirebon dengan memakai nama-nama jagoan lokal memperlihatkan bahwa gagasan ihwal kemerdekaan Indonesia harus menjadi milik publik dan dijadikan sebagai potongan dari ingatan kolektif warga kota Cirebon. Hal itu juga memperlihatkan bahwa ruang publik telah diperlakukan sebagai sebuah komoditas yang pemanfaatannya ditentukan oleh cara kelompok yang dominan, dalam hal ini yaitu tentara dan pejuang kemerdekaan, dalam mendefinisikan masa kemudian sebagai basis pembentukan identitas Cirebon pascakolonial.

Konsepsi "Cirebon Baru" juga dijabarkan dan diimplementasikan ke dalam pembangunan dalam banyak sekali bidang yang mengacu pada kebutuhan fundamental rakyat yang pada masa kolonial kurang mendapat perhatian dari Gemeente Cirebon.

****


*Judul orisinil dari makalah di atas adalah: DARI "PER ASPERA AD ASTRA" KE "CIREBON BARU":
Perubahan Citra Kota Cirebon 1930-1950-an

Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar