Sabtu, 29 September 2018

Sunan Gunung Jati Dan Aneka Macam Mitos Yang Menyertainya

DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.

Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan sebab diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya sanggup berdoa di sini,'' Yusuf, 36 tahun, menambahkan.

Pemisahan kawasan semata-mata sebab ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia yaitu putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi perihal perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah berbagi Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang tiba berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu. Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak menyerupai hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon biar Ong Tien dinikahi. Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan dongeng ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terangterangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu kawasan di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie. Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah kemudian dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya biar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah menerima izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama banyak sekali barang keramik. Barang-barang kuno ini sekarang masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal sesudah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat yaitu Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi. Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, potongan tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.

Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati. Tapi, apa boleh buat, aliran Hoesein ini kuat besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Bukubuku sejarah Indonesia, semenjak zaman kolonial hingga Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.

''Tak satu pun naskah orisinil Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, menyerupai tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon. Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu.

Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, yaitu Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulis pertengahan masa ke-20. Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman hingga jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal undangan Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya yaitu Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu menggunakan nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi populer juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, menyerupai dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya menyerupai dengan permaisurinya yang gres meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, kemudian diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama. Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk mencar ilmu tasauf, kemudian kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, sesudah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati. Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari ijab kabul ini, ia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar