Sabtu, 29 September 2018

Upacara Memitu Di Inderamayu Dan Cirebon

Upacara memitu yaitu sebuah upacara yang dilaksanakan oleh sepasang suami istri yang sedang menantikan anak pertama di Inderamayu dan sekitarnya. Seperti istilahnya yaitu memitu yang berasal dari kata 'mitu' yang dalam bahasa Jawa berarti tujuh, upacara ini dilaksanakan sempurna ketika usia kehamilan sang istri yang bersangkutan menginjak usia tujuh bulan, dan biasanya dilaksanakan antara tanggal 7, 17, dan 27 dalam hitungan kalender Jawa diubahsuaikan dengan kesiapan yang bersangkutan.

Persiapan dan perlengkapan untuk melakukan upacara memitu ini sendiri yaitu pertama-tama disiapkannya bahan-bahan untuk keperluan upacara yakni :

  • Jarit atau tapi (kain panjang) 7 lembar dan masing-masing lembarnya mempunyai warna yang berbeda.

  • Pendil atau belanga (semacam tembikar yang pada jaman dulu digunakan untuk mengambil air) yang berisi air, banyak sekali jenis flora dan beberapa uang logam

  • Kembang tujuh rupa

  • Sesaji yang berisi antara lain : Nasi wuduk, Juwadah pasar, Rujak parud, rujak asem, rujak pisang, rujak selasih, Aneka buah dan umbi, dan tebu wulung.

  • Kelapa muda yang telah digambar salah satu tokoh wayang (biasanya tokoh Arjuna)



Maksud dan tujuan dari dilaksanakannya upacara memitu ini sendiri yaitu sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai mereka anak, di samping juga untuk memohon supaya pada saatnya nanti proses kelahiran berjalan lancar dan diberi keselamatan baik pada si ibu yang melahirkan maupun jabang bayi yang dilahirkan nanti dan yang tak kalah pentingnya si jabang bayi lahir tanpa cacat.

Prosesi upacara memitu yang biasanya dilaksanakan di halaman rumah dan dipimpin oleh seorang lebe atau sesepuh kampung ini dibuka dengan membaca salah satu surah dalam Al-Qur'an yakni surah Lukman atau surah Yusuf dengan keinginan anak yang dilahirkan nanti mempunyai kebijaksanaan pekerti ibarat Lukman ataupun mempunyai ketampanan ibarat halnya nabi Yusuf. Setelah pembacaan salah satu surah dalam Al-Quran simpulan barulah kemudian dilaksanakan program inti yakni upacara mandi yang dilakukan sepasang suami istri yang sedang mengandung tersebut. Upacara mandi ini dipimpin oleh dukun beranak atau paparaji.

Jalannya upacara mandi sendiri diawali dengan dibacakannya kidung oleh sesepuh desa dihadapan air yang akan digunakan untuk upacara mandi, kemudian sehabis pembacaan kidung simpulan barulah kemudian dibagikannya sesajen kepada para tamu undangan. Dan disaat para usul telah mendapatkan sesaji itulah sambil berjalan pulang mereka terlebih dahulu menghampiri si ibu dan suami yang sedang diupacarai ini untuk menyiramkan air yang telah diberi kidung dan kembang 7 rupa. Sambil dimandikan itulah secara terpola si ibu hamil itu berganti kain panjang yang telah di siapkan tadi sampai 7 kain tersebut habis terpakai. Dan pada ketika pergantian kain yang ke tujuh itu, kemudian paparaji menjatuhkan kelapa muda yang telah digambari tokoh wayang tadi melalui dalam kain yang digunakan oleh si ibu hamil dan suami si ibu hamil yang sedari tadi ikut dimandikan diharuskan untuk menangkap kelapa muda itu sebelum jatuh ke tanah. Makna filosofis dari dijatuhkannya kelapa muda itu sendiri melambangkan fasilitas si ibu hamil ketika melahirkan nanti, sedangkan gambar wayang yang terukir di kelapa sendiri sebagai symbol pengharapan bahwa sang jabang yang kelak akan dilahirkan mempunyai paras dan kegagahan ibarat yang dimiliki oleh si tokoh wayang yang di gambar tersebut.

Sebagai epilog prosesi upacara mandi ini kemudian si suami dari ibu hamil itu sambil mengambil pendil yang berisi flora dan uang logam berlari berlari menuju jalan perempatan, dan kemudian memecahkan pendil itu di sana sebagai symbol pecahnya ketuban pada ketika melahirkan nanti.
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar