Selasa, 11 September 2018

Asal-Usul Sandiwara Cirebon

Sandiwara Cirebon dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan sebutan "masres" pada tahun 1940-an, ketika Cirebon diduduki oleh kolonialis Jepang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun para tokoh sandiwara Cirebon dikala ini, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, di tempat Cirebon muncul kesenian yang digemari oleh masyarakat yaitu reog Cirebonan, yang populer dengan nama reog sepat.

Pertunjukan reog itu terdiri dari dua bagian. Pertama berupa atraksi bodoran/lawakan, dan kedua berupa drama yang mengambil kisah dari kebiasaan masyarakat tempat tersebut. Pada dikala bersamaan, di tempat Jamblang Klangenan muncul pula sebuah kesenian yang lazim disebut toneel (tonil) dengan nama Cahya Widodo. Kesenian ini setiap hari selama berbulan-bulan melaksanakan narayuda (ngamen).

Kedua jenis kesenian tersebut kemudian mengilhami seorang cowok dari Kampung Langgen, Desa Wangunarja, Klangenan, Cirebon, yang berjulukan Mursyid untuk mendirikan kesenian gres di tempat Cirebon. Mursyid mengumpulkan para cowok dari lingkungan sekitar untuk bahu-membahu mendirikan perkumpulan kesenian yang memadukan reog sepat dan tonil Cahya Widodo. Kesenian ini yaitu drama gaya Cirebonan dengan iringan musik yang didukung oleh waditra berlaraskan prawa. Kesenian perpaduan itu dinamakan jeblosan yang, berdasarkan mereka, berarti "pertunjukan tonil tanpa layar tutup" (jeblas-jeblos; bahasa Cirebon). Selain itu, ada pula yang menyebutnya Bungkrek (bahasa Cirebon yang artinya bujang [pemuda] yang sering angkrak-engkrek [menari]).

Oleh sebab jeblosan ini banyak dipengaruhi ketoprak/tonil/stambul Cahya Widodo, maka tidak mengherankan apabila kisah yang dibawakan pada waktu itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi adakalanya kisah diambil dari kisah rakyat Jawa Barat wacana asal-usul tempat atau dongeng-dongeng rakyat. Dalam perjalanannya, kesenian jeblosan ini sangat digandrungi oleh masyarakat. Walaupun pada waktu itu seluruh pemainnya kaum pria, namun lebih banyak didominasi mereka yaitu pejuang kemerdekaan. Dalam kesenian inilah tercipta media penerangan sekaligus usaha melawan penjajah melalui lakon-lakon yang dimainkannya.

Pada 1946 di Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon, Cirebon bangkit pula kesenian homogen dengan nama langendriyo, yang diprakarsai oleh Suwandi dan Mursyid, Desa Barepan. Langendriyo dan jeblosan ini hampir sama dengan tonil Cahya Widodo, meskipun ada perbedaan dalam bahasa penyampaiannya. Pada langendriyo, kisah disampaikan dalam bahasa Jawa dan pada jeblosan digunakan bahasa adonan antara bahasa Jawa Cirebonan dengan bahasa Jawa.

Pada 1949 sarana langen jeblos mulai ditingkatkan, yaitu memakai panggung. Nama jeblos diganti dengan langen perbeta yang berarti lasykar (bahasa sandi), Persatuan Bekas Tentara. Dan pada tahun lima-puluhan namanya diganti lagi dengan Sari Sasmita yang berfungsi sebagai media penerangan. Kejayaan Sari Sasmita mulai terlihat. Dari malam ke malam, pada setiap animo hajatan, kesenian tersebut tidak pernah istirahat memenuhi seruan masyarakat penggemarnya.

Pada 1952 di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan, bangkit pula kesenian homogen dengan nama sanpro (sandiwara proletar). Pendirinya yaitu H. Abdullah, yang pada dikala itu menjabat sebagai kepala desa setempat. Kemudian, pada 1956, bangkit pula perkumpulan sandiwara di tempat Bedulan, Desa Suranenggala, Cirebon Utara, dengan nama yang dikenal sekarang, yaitu masres (nama homogen benang yang digunakan untuk menciptakan jaring ikan). Salah satu pendirinya yaitu Ibu H. Sami'i yang dikenal sebagai pesinden Cirebonan. Dan, pada 1956, partai-partai politik mulai melirik kesenian sandiwara tersebut untuk media kampanye bagi kepentingan masing-masing. Maka di Desa Bojong Wetan, Kecamatan Klangenan Cirebon, para tokoh Partai Sosialisme Indonesia (PSI) mendirikan perkumpulan seni sandiwara menggantikan sanpro dengan nama Setia Budhi. Tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Suluh Budaya. Sementara tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-nya, mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Dharma Bhakti. Perkumpulan-perkumpulan ini hanya bertahan hingga tahun 1965 dan ketika meletus Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) grup-grup ini bubar sebab amukan massa anti-PKI. Sejak dikala itu fungsi sandiwara, juga kesenian-kesenian lain, tidak lagi didampingi oleh kepentingan partai politik.

Pada tahun 1970-an sandiwara Cirebon mengalami masa kejayaannya, sebab berbagai yang menanggap kesenian ini. Maka tidak mengherankan kalau di tempat Cirebon dikala itu banyak bermunculan kelompok/grup sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sandiwara Cirebon hingga kini masih hidup di masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Kehidupan kesenian ini tidak terlepas dari derma para pendukungnya, yang masih membutuhkan seni pertunjukan tersebut sebagai pengiring dalam upacara-upacara inisiasi, katarsis dan simpatetik magis (perkawinan, khitanan, kaul, dan lain-lain).

Alat musik yang digunakan dalam sandiwara Cirebon yaitu gamelan pelog dengan waditranya antara lain bonang, kemyang, saron, titil, penerus, gong besar dan kecil, kendang, dogdog dan ketipung, tutukan, kenong (jenglong), kecrek, seruling, dan gambang. Dalam perkembangannya belakangan ini, unsur-unsur musik modern ditambahkan, antara lain alat-alat musik modern, ibarat kibor dan gitar listrik. Sedangkan perlengkapan lain dalam menunjang pertunjukan sandiwara Cirebon antara lain properti, layar, dan dekor.

Dalam pertunjukan sandiwara Cirebon dikala ini, banyak ditampilkan kisah yang diambil dari babad Cirebon, ibarat lakon Nyi Mas Gandasari, Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bagus Rangin, Pusaka Golok Cabang, dan lain-lain. Sekalipun demikian, sandiwara Cirebon kadangkala menampilkan kisah dongeng atau legenda masyarakat Jawa umumnya, terutama pada pertunjukan berlangsung siang hari. Namun pada malam hari, kisah yang ditampilkan kebanyakan diambil dari babad Cirebon hingga tuntas menjelang pagi. Oleh sebab sifatnya yang egaliter, sandiwara Cirebon banyak mempertunjukkan pula kemasan-kemasan musik dangdut Cirebonan, atau kadang-kadang tayuban sebagai selingan dalam suatu lakon pertunjukan. Pertunjukan sandiwara Cirebon pada malam hari biasanya dimulai pada pukul 20.00 dan final pada pukul 03.30 dinihari. Struktur pertunjukan sandiwara Cirebon yaitu sebagai berikut: musik pembuka (tatalu); adegan gimmick (surpraise dengan trik panggung, berupa kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon sandiwara; penutup, dengan musik dan penutup pimpinan sandiwara.

Sumber: Sunda.web.id

Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar