Senin, 10 September 2018

Sampyong; Sebuah Pertarungan Antar Jawara

 tepatnya di Cibodas ada sebuah permainan atau olahraga ketangkasan yang menuntut pesertan Sampyong; Sebuah Pertarungan Antar JawaraDi penghujung tahun 60-an, di tempat Majalengka, tepatnya di Cibodas ada sebuah permainan atau olahraga ketangkasan yang menuntut pesertanya untuk mempunyai nyali yang besar. Jika Anda takut dengan rasa sakit, merah-merah di kulit penuh bilur, dan bahkan kulit lebam kebiruan maka tampaknya permainan ini tidak cocok dengan Anda. Ujungan, begitu permainan ini kerap disebut.

Ujungan yaitu permainan langgar ketangkasan antara dua orang yang saling berhadapan satu sama lain dengan masing-masing penerima membawa tongkat pemukul dari rotan lingkaran berukuran 60 cm, dan tutup kepala (disebut balakutak) yang terbuat dari kain yang dilapisi dengan bahan-bahan empuk untuk melindungi kepala dari pukulan lawan.

Pada ketika itu tidak ada hukum baku untuk permainan ujungan ini. Kedua penerima diperbolehkan untuk memukul serpihan mana saja dan sekuat yang ia bisa selama lawan yang dihadapi belum memperlihatkan gejala menyerah. Hebatnya permainan ini yaitu permainan ini sama sekali tanpa memakai teknik tangkisan menyerupai halnya seni bela diri pada umumnya. Jadi, yang diuji dalam permainan ini yaitu wacana seberapa kuat Anda memukul dan seberapa kuat pula Anda menahan rasa sakit akhir pukulan. Permainan ini sendiri dipimpin oleh seorang wasit yang disebut dengan melendang.

Meski permainan ini terkesan begitu brutal, tapi ada juga sisi anggun dari permainan ini yakni adanya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh untuk mengiringi kedua 'jawara' bertarung. Pun juga dengan adegan ibing yang dibawakan oleh kedua jawara yang akan bertanding sesaat sesudah mereka masuk gelanggang. Sebelum melaksanakan pukulan, kedua pemain melaksanakan mincid pencak silat yang manis. Pukulan dilakukan ditandai undangan sang malandang: "Briuk" yang disusul lalu dengan pukulan ke arah yang diinginkan.

Berubah Menjadi Sampyong
Seiring dengan perkembangan zaman dan mungkin alasannya makin berkurangnya orang-orang bernyali yang mampu menahan panas akhir pukulan, pada karenanya permainan ujungan pun direvisi oleh beberapa tokoh ujungan yang kuat pada ketika itu dengan menciptakan peraturan-peraturan yang mengakibatkan permainan ini jadi lebih manusiawi. Dan sesudah bermusyawarah dan juga menurut pengalaman-pengalaman di lapangan maka disepakatilah untuk menciptakan permainan ini menjadi lebih sederhana dengan bersandar pada 3 butir peraturan permainan, yakni:


  1. Seorang penerima hanya diperkenankan memukul sebanyak tiga kali pukulan bergantian masing-masing dalam satu kesempatan.

  2. Sasaran pukulan yang diperbolehkan yaitu di kaki pada serpihan belakang betis.

  3. Pemain tidak bisa hanya menurut pada keberanian satu sama lain, tetapi dikelompokkan menurut umur dan gender (jenis kelamin). Jadi, meskipun satu sama lain menyatakan berani untuk bertarung, tapi kalau umur mereka tak sepadan atau jenis kelamin mereka berbeda maka pertandingan itu tak bisa dilakukan.


Seiring dengan berlakunya peraturan yang gres ini, lambat laun kata ujungan pun mulai ditinggalkan, dan berganti nama menjadi sampyong. Nama sampyong sendiri konon yaitu celetukan tidak sengaja dari seorang penonton keturunan Tionghoa, yang menyebut ini sebagai sampyong yang berasal dari kosakata dalam bahasa China: sam artinya tiga dan poyong yang berarti pukulan. Kiranya ia tertarik pada jumlah pukulan pada permainan itu hingga lalu terucap kata Sampyong yang lalu menempel menjadi sebutan permaianan hingga sekarang.

_____
Gambar diambil dari sini
Sumber http://portalcirebon.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar